Untuk kebudayaan masyarakat Madura sendir berbeda dengan kebudayaan masyarakat lainnya, termasuk dengan kebudayaan Jawa Timur (Surabaya, Malang dll) meskipun Madura masih satu provinsi dengan mereka. Masyarakat Madura memiliki corak, karakter dan sifat yang berbeda dengan masyarakat Jawa. Masyarakatnya yang santun, membuat masyarakat Madura disegani, dihormati bahkan “ditakuti” oleh masyarakat yang lain.
Kebaikan yang diperoleh oleh masyarakat atau orang Madura akan dibalas dengan serupa atau lebih baik. Namun, jika dia disakiti atau diinjak harga dirinya, tidak menutp kemungkinan mereka akan membalas dengan yang lebih kejam. Banyak orang yang berpendapat bahwa masyarakat Madura itu unik, estetis dan agamis. Dapat dibuktikan dengan banyaknya masjid-masjid megah berdiri di Madura dan tidak hanya itu saja, kebanyakan masyarakat Madura termasuk penganut agama Islam yang tekun, ditambah lagi mereka juga berusaha menyisihkan uangnya untuk naik haji. Dari hal tersebut tidak salah kalau masyarakat Madura juda dikenal sebagai masyarakat santri yang sopan tutur katanya dan kepribadiannya.
Masyarakat Madura masih mempercayai dengankekuatan magis, dengan melakukan berbagai macam ritual dan ritual tersebut memberikan peranan yang penting dalam pelaksanaan kehidupan masyarakat Madura. Slah satu bentuk kepercayaan terhadap hal yang berbau magis tersebut adalah terhadab bendah pusaka yang berupa keris atau jenis tosan aji dan ada kalanya melakukan ritual Pethik Laut atau Rokat Tasse (sama dengan larung sesaji).
Untuk bahasa masyarakat Madura memiliki bahasa daerahnya sendiri yang mayoritas digunakan oleh masyarkat asli Madura. Bahasa Madura hamper mirip dengan bahasa-bahasa daerah lainnya di Indonesia, karena bahasa Madura banyak terpengaruh oleh bahasa Jawa, Melayu, Bugis, Tionghoa dan lain sebagainya. Pengaruh bahasa Jawa sangat terasa dalam bentuk system hierarki berbahasa sebgai akibat pendudukan Kerajaan Mataram atas Pulau Madura pada masa lampau.
1. Pesa’an
Pesa’an merupakan sebutan bagi pakaian tradisional khas suku Madura. Pesa’an pada pakaian pria terdiri dari kaos yang bermotif garis dengan warna merah dan putih yang dipadu-padankan dengan baju dan celana longgar berwarna hitam. Sebagai pelengkap digunakan ikat kepala yang disebut odheng dan juga senjata tradisional clurit yang diselempangkan. Sedangkan pada wanita lebih sederhana dan lebih mirip dengan pakaian suku Jawa dengan atasan kebaya dan bawahan kain Jarit.
Pada zaman dahulu, pesa’an biasa digunakan oleh para guru agama atau biasa disebut dengan molang. Warna dan motif garis yang ada pada kaos pesa’an memiliki makna ketegasan dan keberanian serta semangat kerja keras. Oleh sebab itu suku Madura dikenal sebagai masyarakat yang memiliki pribadi berani, keras, tegas serta memiliki etos kerja keras yang tinggi.
Pelajari juga pakaian adat suku lain pada artikel : Kebudayaan suku baduy, kebudayaan minangkabau, kebudayaan sumatera selatan.
2. Clurit
Suku Madura memiliki senjata tradisional yang sangat khas yang disebut clurit. Bentuk Clurit mirip dengan arit pada suku Jawa yang biasa digunakan untuk bertani dan berkebun. Perbedaannya, bentuk clurit lebih ramping dengan lingkar lengkung yang lebih tipis serta memiliki ujung yang lebih lancip. Clurit dilengkapi dengan gagang yang terbuat dari besi atau kayu.
Keberadaan clurit pada masyarakat Madura tidak dapat dilepaskan dari legenda Pak Sakera. Konon pada zaman dahulu, Pak Sakera merupakan seorang mandor kebun yang selalu membawa clurit ketika bekerja dan mengawasi pegawai perkebunannya. Pada masa penjajahan Belanda, Pak Sakera merupakan sosok pejuang rakyat yang dengan cluritnya berani melawan para jagoan (biasa disebut Blater) yang sudah dibeli oleh Belanda untuk menguasai tanah Madura. Beliau merupakan sosok pemberontak dari kalangan santri yang sangat tegas menolak penjajahan Belanda. Sejak saat itu clurit menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari identitas Suku Madura. Clurit merupakan simbol perjuangan dan keberanian rakyat Madura.
ads
3. Saronen
Saronen merupakan alat musik tradisonal khas suku Madura. Saronen memiliki bentuk kerucut memanjang menyerupai terompet dan dimainkan dengan cara ditiup. Saronen awal mulanya lebih dikenal dengan nama Sennenan yang artinya hari Senin. Sejarah Saronen berawal dari Kyai Khatib Sendang yang merupakan cicit dari Sunan Kudus menggunakan alat ini sebagai media dakwahnya untuk menyebarkan Islam di Madura. Setiap hari Senin Kyai Khatib menggunakan alat musik tiup ini untuk mengumpulkan masyarakat Madura yang tengah berbelanja di pasar dan sekaligus menghibur mereka. Selepas mereka berkumpul dan terhibur Kyai Khatib menyelinginya dengan dakwah nilai-nilai Islam. Oleh sebab itu alat musik tiup ini awal mulanya lebih dikenal dengan Sennenan. Bentuk alat musik Sennenan atau Saronen serta bunyi khas yang dikeluarkannya mirip dengan alat musik Selompret yang digunakan pada kesenian Reog pada kebudayaan Ponorogo dan biasa juga dipakai dalam kesenian Kuda Lumping.
Dalam perkembangannya Saronen kemudian menjadi tradisi kesenian musik tersendiri. Tidak lagi hanya berbicara alat musik tiup, Saronen dimainkan dengan diiringi beberapa alat musik lain, diantaranya kendang, gong besar, gong kecil, kenong besar, kenong kecil serta kempul. Kesenian saronen biasa dimainkan ketika ada pesta adat pernikahan, pesta adat rakyat ataupun ketika penyelenggaraan turnamen karapan sapi.
Pelajari juga kesenian khas suku lain pada artikel : Kebudayaan suku banjar, kebudayaan sunda
4. Keraban Sapeh
Keraban Sapeh atau lebih familiar disebut dengan karapan sapi, merupakan kebudayaan suku Madura yang sangat khas dan terkenal. Karapan sapi merupakan kesenian pesta adat rakyat berupa perlombaan dengan menggunakan semacam gerobak yang ditarik oleh dua ekor sapi dan terdapat satu joki sebagai pengendali laju sapi. Sejarah karapan sapi berawal dari Syeh Ahmad Baidawi yang memperkenalkan kepada masyarakat Madura tentang cara bercocok tanam sawah dengan menggunakan alat dari sepasang bambu disebut ‘nanggala’ atau ‘salaga’. Nanggala atau salaga ini ditarik oleh dua ekor sapi yang kemudian digunakan untuk membajak persawahan. Karapan sapi pada awal mulanya digunakan untuk menyeleksi sapi-sapi terbaik yang bisa digunakan untuk membajak sawah. Namun kemudian hal ini berkembang menjadi tradisi dan kesenian tersendiri.
Masyarakat Madura biasa mengadakan perlombaan karapan sapi pada sekitar bulan-bulan Agustus dan September dan finalnya biasa dilaksanakan pada bulan Oktober. Tradisi tahunan karapan sapi ini cukup bergengsi di kalangan suku Madura karena sapi yang menjadi juara pada perlombaan ini selain meningkatkan status daya jualnya, juga dapat meningkatkan status sosial pemilik sapi. Karapan sapi biasa dilaksanakan pada areal persawahan dengan panjang lintasan sekitar 100 meter. Joki-joki karapan sapi harus berusaha memacu sapi-sapi mereka untuk dapat mencapai garis finish terlebih dahulu, yang tercepatlah yang dinyatakan sebagai pemenang.
5. Bhubu’an
Tradisi bhubu’an dikembangkan oleh masyarakat suku Madura yang mendiami wilayah Bangkalan. Tradisi bhubu’an merupakan tradisi memberi kado pada hajat pernikahan. Pada zaman dahulu, bhubu’an berupa bahan pangan dan sembako, namun seiring perkembangan zaman, sekarang sudah lebih banyak menggunakan uang.
Pada tradisi bhubu’an, para tamu undangan biasanya menyerahkan kado pemberian mereka kepada para penerima tamu. Para penerima tamu ini lantas kemudian mencatat nama dan besaran pemberian atau barang-barang apa saja yang diberikan sebagai kado pemberian. Fungsi pencatatan ini nantinya sebagai administrasi bagi tuan rumah yang memiliki hajat untuk mengembalikan kembali kado pemberian tersebut kepada pemberinya. Maksudnya ketika nanti si pemberi kado sedang ada hajat, maka tuan rumah tadi akan membawa bhubu’an yang senilai dengan yang diberikan atau bisa lebih. Tradisi ini menunjukkan sikap sosial suku Madura yang tolong menolong.
6. Carok
Carok berasal dari bahasa kawi kuno yang artinya perkelahian. Tradisi carok merupakan tradisi pertarungan atau perkelahian antara dua orang atau dua keluarga besar dengan menggunakan senjata tradisional clurit. Pertengkaran ini biasanya berkaitan dengan harga diri, baik diri pribadi maupun keluarga. Lebih banyak biasanya dipicu masalah perebutan wanita. Terkadang tradisi carok ini bisa membawa pada munculnya korban jiwa.
Suku Madura memegang prinsip hidup “ Lebbhi bagus pote tolang etembheng pote mata “, yang artinya lebih baik putih tulang (mati) daripada putih mata (menahan malu). Oleh sebab itu bila terjadi permasalahan yang menyangkut harkat dan martabat diri suku Madura, maka carok merupakan solusi jalan keluarnya. Filosofis inilah yang sempat memunculkan konflik budaya dengan kebudayaan suku dayak ketika suku Madura bermigrasi ke tanah Kalimantan.
Sponsors Link
Tradisi carok mulai berkembang pesat ketika Belanda pada saat ingin menguasai tanah Madura, menggunakan para jawara yang disebut Blater untuk menantang dan beradu duel dengan masyarakat pribumi. Tujuannya adalah untuk menimbulkan rasa takut. Pak Sakera merupakan salah satu orang Madura yang sangat keras memberontak penjajahan Belanda, Pak Sakera dengan cluritnya melakukan perjuangan melawan para Blater Belanda. Belanda sendiri juga sering menggunakan carok untuk mengadu domba masyarakat Madura. Bila ada perselisihan dan persengketaan, Belanda selalu mengajukan carok sebagai jalan, dan sejak saat itu carok dan clurit sangat kental dalam kebiasaan suku Madura. Hingga hari ini tradisi carok masih dipegang teguh oleh sebagian masyarakat Madura.
7. Mondok
Keseluruhan suku Madura merupakan penganut Islam yang kuat. Madura sendiri merupakan bagian dari wilayah tapal kuda yang dikenal dengan adat kyai dan pesantren. Di Madura terdapat lebih dari 200an pondok pesantren Islam. Orang Madura biasanya lebih menyukai menyekolahkan anak-anaknya ke pondok pesantren yang biasa disebut dengan istilah mondok daripada menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah umum. Bagi mereka ilmu agama lebih penting daripada ilmu dunia. Keluarga suku Madura sudah terbiasa melepas anak-anak mereka untuk mondok sejak usia kecil. Biasanya mereka mondok tidak hanya di sekitaran pulau Madura tetapi bisa hingga ke wilayah-wilayah Jawa Timur yang memiliki basis pondok pesantren Islam.
Kebiasaan mondok dan keteguhannya pada nilai-nilai Islam ini menjadikan orang suku Madura memiliki ketundukan dan kepatuhan yang tinggi terhadap para kyai Islam yang dipandang memiliki kelebihan ilmu agama. Kyai merupakan sosok yang sangat dihormati oleh orang suku Madura. Kepatuhan ini hingga menjadi sebuah jargon bagi suku Madura bahwa sejahat-jahatnya atau sebengis-bengisnya orang Madura, mereka akan tetap patuh dan tidak berani melawan guru dan Kyainya.
Pelajari juga adat hidup suku lain pada artikel : kebudayaan Batak, kebudayaan papua, kebudayaan nusa Tenggara Timur.
Sponsors Link
8. Haji sebagai Tujuan Hidup
Orang suku Madura yang terkenal dengan kerja keras dan keteguhannya dalam memegang nilai-nilai Islam, memiliki tujuan hidup yang sama yakni naik Haji. Pergi berhaji bagi masyarakat Madura selain sebagai bentuk penyempurna ibadah sebagaimana yang ada dalam ajaran Islam, juga merupakan salah satu bentuk menunjukkan status sosial di kalangan masyarakat. Predikat haji bagi suku Madura memiliki prestise tersendiri.
Mereka yang telah berhasil menunaikan ibadah haji, maka lingkungan sosialnya akan memanggil mereka dengan sebutan ‘abah’ untuk pria dan ‘umi’ untuk wanita. Secara tidak langsung sebutan ini seperti meningkatkan kasta sosial mereka dibandingkan dengan orang-orang yang belum berhaji. Bagi orang Suku Madura, pergi berhaji terkadang tidak cukup hanya sekali, selagi mereka memiliki kemampuan secara ekonomi maka mereka akan terus pergi berhaji, dan otomatis status sosialnya pun akan terus merangkak naik. Oleh sebab itu, berhaji bagi suku Madura menjadi sebuah nilai budaya tersendiri.
sumber: madura