Sabtu, 30 September 2017

BUDAYA MADURA

 masyarakat Madura memiliki kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan masyarakat-masyarakat pada umumnya (masyarakat di luar Pulau Madura), meskipun Madura masih berada di wilayah Indonesia tapi karena factor letak membuat kebudayaan-kebudayaan di Indonesia berbeda-beda, dari satu daerah-ke daerah lain pasti memiliki perbedaan kebudayaan.

Untuk kebudayaan masyarakat Madura sendir berbeda dengan kebudayaan masyarakat lainnya, termasuk dengan kebudayaan Jawa Timur (Surabaya, Malang dll) meskipun Madura masih satu provinsi dengan mereka. Masyarakat Madura memiliki corak, karakter dan sifat yang berbeda dengan masyarakat Jawa. Masyarakatnya yang santun, membuat masyarakat Madura disegani, dihormati bahkan “ditakuti” oleh masyarakat yang lain.

Kebaikan yang diperoleh oleh masyarakat atau orang Madura akan dibalas dengan serupa atau lebih baik. Namun, jika dia disakiti atau diinjak harga dirinya, tidak menutp kemungkinan mereka akan membalas dengan yang lebih kejam. Banyak orang yang berpendapat bahwa masyarakat Madura itu unik, estetis dan agamis. Dapat dibuktikan dengan banyaknya masjid-masjid megah berdiri di Madura dan tidak hanya itu saja, kebanyakan masyarakat Madura termasuk penganut agama Islam yang tekun, ditambah lagi mereka juga berusaha menyisihkan uangnya untuk naik haji. Dari hal tersebut tidak salah kalau masyarakat Madura juda dikenal sebagai masyarakat santri yang sopan tutur katanya dan kepribadiannya.

Masyarakat Madura masih mempercayai dengankekuatan magis, dengan melakukan berbagai macam ritual dan ritual tersebut memberikan peranan yang penting dalam pelaksanaan kehidupan masyarakat Madura. Slah satu bentuk kepercayaan terhadap hal yang berbau magis tersebut adalah terhadab bendah pusaka yang berupa keris atau jenis tosan aji dan ada kalanya melakukan ritual Pethik Laut atau Rokat Tasse (sama dengan larung sesaji).

Untuk bahasa masyarakat Madura memiliki bahasa daerahnya sendiri yang mayoritas digunakan oleh masyarkat asli Madura. Bahasa Madura hamper mirip dengan bahasa-bahasa daerah lainnya di Indonesia, karena bahasa Madura banyak terpengaruh oleh bahasa Jawa, Melayu, Bugis, Tionghoa dan lain sebagainya. Pengaruh bahasa Jawa sangat terasa dalam bentuk system hierarki berbahasa sebgai akibat pendudukan Kerajaan Mataram atas Pulau Madura pada masa lampau.

1. Pesa’an


Pesa’an merupakan sebutan bagi pakaian tradisional khas suku Madura. Pesa’an pada pakaian pria terdiri dari kaos yang bermotif garis dengan warna merah dan putih yang dipadu-padankan dengan baju dan celana longgar berwarna hitam. Sebagai pelengkap digunakan ikat kepala yang disebut odheng dan juga senjata tradisional clurit yang diselempangkan. Sedangkan pada wanita lebih sederhana dan lebih mirip dengan pakaian suku Jawa dengan atasan kebaya dan bawahan kain Jarit.

Pada zaman dahulu, pesa’an biasa digunakan oleh para guru agama atau biasa disebut dengan molang. Warna dan motif garis yang ada pada kaos pesa’an memiliki makna ketegasan dan keberanian serta semangat kerja keras. Oleh sebab itu suku Madura dikenal sebagai masyarakat yang memiliki pribadi berani, keras, tegas serta memiliki etos kerja keras yang tinggi.

Pelajari juga pakaian adat suku lain pada artikel : Kebudayaan suku baduy, kebudayaan minangkabau, kebudayaan sumatera selatan.

2. Clurit


Suku Madura memiliki senjata tradisional yang sangat khas yang disebut clurit. Bentuk Clurit mirip dengan arit pada suku Jawa yang biasa digunakan untuk bertani dan berkebun. Perbedaannya, bentuk clurit lebih ramping dengan lingkar lengkung yang lebih tipis serta memiliki ujung yang lebih lancip. Clurit dilengkapi dengan gagang yang terbuat dari besi atau kayu.

Keberadaan clurit pada masyarakat Madura tidak dapat dilepaskan dari legenda Pak Sakera. Konon pada zaman dahulu, Pak Sakera merupakan seorang mandor kebun yang selalu membawa clurit ketika bekerja dan mengawasi pegawai perkebunannya. Pada masa penjajahan Belanda, Pak Sakera merupakan sosok pejuang rakyat yang dengan cluritnya berani melawan para jagoan (biasa disebut Blater) yang sudah dibeli oleh Belanda untuk menguasai tanah Madura. Beliau merupakan sosok pemberontak dari kalangan santri yang sangat tegas menolak penjajahan Belanda. Sejak saat itu clurit menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari identitas Suku Madura. Clurit merupakan simbol perjuangan dan keberanian rakyat Madura.
ads

3. Saronen


Saronen merupakan alat musik tradisonal khas suku Madura. Saronen memiliki bentuk kerucut memanjang menyerupai terompet dan dimainkan dengan cara ditiup. Saronen awal mulanya lebih dikenal dengan nama Sennenan yang artinya hari Senin. Sejarah Saronen berawal dari Kyai Khatib Sendang yang merupakan cicit dari Sunan Kudus menggunakan alat ini sebagai media dakwahnya untuk menyebarkan Islam di Madura. Setiap hari Senin Kyai Khatib menggunakan alat musik tiup ini untuk mengumpulkan masyarakat Madura yang tengah berbelanja di pasar dan sekaligus menghibur mereka. Selepas mereka berkumpul dan terhibur Kyai Khatib menyelinginya dengan dakwah nilai-nilai Islam. Oleh sebab itu alat musik tiup ini awal mulanya lebih dikenal dengan Sennenan. Bentuk alat musik Sennenan atau Saronen serta bunyi khas yang dikeluarkannya mirip dengan alat musik Selompret yang digunakan pada kesenian Reog pada kebudayaan Ponorogo dan biasa juga dipakai dalam kesenian Kuda Lumping.

Dalam perkembangannya Saronen kemudian menjadi tradisi kesenian musik tersendiri. Tidak lagi hanya berbicara alat musik tiup, Saronen dimainkan dengan diiringi beberapa alat musik lain, diantaranya kendang, gong besar, gong kecil, kenong besar, kenong kecil serta kempul. Kesenian saronen biasa dimainkan ketika ada pesta adat pernikahan, pesta adat rakyat ataupun ketika penyelenggaraan turnamen karapan sapi.

Pelajari juga kesenian khas suku lain pada artikel : Kebudayaan suku banjar, kebudayaan sunda

4. Keraban Sapeh


Keraban Sapeh atau lebih familiar disebut dengan karapan sapi, merupakan kebudayaan suku Madura yang sangat khas dan terkenal. Karapan sapi merupakan kesenian pesta adat rakyat berupa perlombaan dengan menggunakan semacam gerobak yang ditarik oleh dua ekor sapi dan terdapat satu joki sebagai pengendali laju sapi. Sejarah karapan sapi berawal dari Syeh Ahmad Baidawi yang memperkenalkan kepada masyarakat Madura tentang cara bercocok tanam sawah dengan menggunakan alat dari sepasang bambu disebut ‘nanggala’ atau ‘salaga’. Nanggala atau salaga ini ditarik oleh dua ekor sapi yang kemudian digunakan untuk membajak persawahan. Karapan sapi pada awal mulanya digunakan untuk menyeleksi sapi-sapi terbaik yang bisa digunakan untuk membajak sawah. Namun kemudian hal ini berkembang menjadi tradisi dan kesenian tersendiri.

Masyarakat Madura biasa mengadakan perlombaan karapan sapi pada sekitar bulan-bulan Agustus dan September dan finalnya biasa dilaksanakan pada bulan Oktober. Tradisi tahunan karapan sapi ini cukup bergengsi di kalangan suku Madura karena sapi yang menjadi juara pada perlombaan ini selain meningkatkan status daya jualnya, juga dapat meningkatkan status sosial pemilik sapi. Karapan sapi biasa dilaksanakan pada areal persawahan dengan panjang lintasan sekitar 100 meter. Joki-joki karapan sapi harus berusaha memacu sapi-sapi mereka untuk dapat mencapai garis finish terlebih dahulu, yang tercepatlah yang dinyatakan sebagai pemenang.

5. Bhubu’an


Tradisi bhubu’an dikembangkan oleh masyarakat suku Madura yang mendiami wilayah Bangkalan. Tradisi bhubu’an merupakan tradisi memberi kado pada hajat pernikahan. Pada zaman dahulu, bhubu’an berupa bahan pangan dan sembako, namun seiring perkembangan zaman, sekarang sudah lebih banyak menggunakan uang.

Pada tradisi bhubu’an, para tamu undangan biasanya menyerahkan kado pemberian mereka kepada para penerima tamu. Para penerima tamu ini lantas kemudian mencatat nama dan besaran pemberian atau barang-barang apa saja yang diberikan sebagai kado pemberian. Fungsi pencatatan ini nantinya sebagai administrasi bagi tuan rumah yang memiliki hajat untuk mengembalikan kembali kado pemberian tersebut kepada pemberinya. Maksudnya ketika nanti si pemberi kado sedang ada hajat, maka tuan rumah tadi akan membawa bhubu’an yang senilai dengan yang diberikan atau bisa lebih. Tradisi ini menunjukkan sikap sosial suku Madura yang tolong menolong.

6. Carok


Carok berasal dari bahasa kawi kuno yang artinya perkelahian. Tradisi carok merupakan tradisi pertarungan atau perkelahian antara dua orang atau dua keluarga besar dengan menggunakan senjata tradisional clurit. Pertengkaran ini biasanya berkaitan dengan harga diri, baik diri pribadi maupun keluarga. Lebih banyak biasanya dipicu masalah perebutan wanita. Terkadang tradisi carok ini bisa membawa pada munculnya korban jiwa.

Suku Madura memegang prinsip hidup “ Lebbhi bagus pote tolang etembheng pote mata “, yang artinya lebih baik putih tulang (mati) daripada putih mata (menahan malu). Oleh sebab itu bila terjadi permasalahan yang menyangkut harkat dan martabat diri suku Madura, maka carok merupakan solusi jalan keluarnya. Filosofis inilah yang sempat memunculkan konflik budaya dengan kebudayaan suku dayak ketika suku Madura bermigrasi ke tanah Kalimantan.
Sponsors Link

Tradisi carok mulai berkembang pesat ketika Belanda pada saat ingin menguasai tanah Madura, menggunakan para jawara yang disebut Blater untuk menantang dan beradu duel dengan masyarakat pribumi. Tujuannya adalah untuk menimbulkan rasa takut. Pak Sakera merupakan salah satu orang Madura yang sangat keras memberontak penjajahan Belanda, Pak Sakera dengan cluritnya melakukan perjuangan melawan para Blater Belanda. Belanda sendiri juga sering menggunakan carok untuk mengadu domba masyarakat Madura. Bila ada perselisihan dan persengketaan, Belanda selalu mengajukan carok sebagai jalan, dan sejak saat itu carok dan clurit sangat kental dalam kebiasaan suku Madura. Hingga hari ini tradisi carok masih dipegang teguh oleh sebagian masyarakat Madura.

7. Mondok


Keseluruhan suku Madura merupakan penganut Islam yang kuat. Madura sendiri merupakan bagian dari wilayah tapal kuda yang dikenal dengan adat kyai dan pesantren. Di Madura terdapat lebih dari 200an pondok pesantren Islam. Orang Madura biasanya lebih menyukai menyekolahkan anak-anaknya ke pondok pesantren yang biasa disebut dengan istilah mondok daripada menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah umum. Bagi mereka ilmu agama lebih penting daripada ilmu dunia. Keluarga suku Madura sudah terbiasa melepas anak-anak mereka untuk mondok sejak usia kecil. Biasanya mereka mondok tidak hanya di sekitaran pulau Madura tetapi bisa hingga ke wilayah-wilayah Jawa Timur yang memiliki basis pondok pesantren Islam.

Kebiasaan mondok dan keteguhannya pada nilai-nilai Islam ini menjadikan orang suku Madura memiliki ketundukan dan kepatuhan yang tinggi terhadap para kyai Islam yang dipandang memiliki kelebihan ilmu agama. Kyai merupakan sosok yang sangat dihormati oleh orang suku Madura. Kepatuhan ini hingga menjadi sebuah jargon bagi suku Madura bahwa sejahat-jahatnya atau sebengis-bengisnya orang Madura, mereka akan tetap patuh dan tidak berani melawan guru dan Kyainya.

Pelajari juga adat hidup suku lain pada artikel : kebudayaan Batak, kebudayaan papua, kebudayaan nusa Tenggara Timur.
Sponsors Link

8. Haji sebagai Tujuan Hidup


Orang suku Madura yang terkenal dengan kerja keras dan keteguhannya dalam memegang nilai-nilai Islam, memiliki tujuan hidup yang sama yakni naik Haji. Pergi berhaji bagi masyarakat Madura selain sebagai bentuk penyempurna ibadah sebagaimana yang ada dalam ajaran Islam, juga merupakan salah satu bentuk menunjukkan status sosial di kalangan masyarakat. Predikat haji bagi suku Madura memiliki prestise tersendiri.

Mereka yang telah berhasil menunaikan ibadah haji, maka lingkungan sosialnya akan memanggil mereka dengan sebutan ‘abah’ untuk pria dan ‘umi’ untuk wanita. Secara tidak langsung sebutan ini seperti meningkatkan kasta sosial mereka dibandingkan dengan orang-orang yang belum berhaji. Bagi orang Suku Madura, pergi berhaji terkadang tidak cukup hanya sekali, selagi mereka memiliki kemampuan secara ekonomi maka mereka akan terus pergi berhaji, dan otomatis status sosialnya pun akan terus merangkak naik. Oleh sebab itu, berhaji bagi suku Madura menjadi sebuah nilai budaya tersendiri.
sumber: madura

BUDAYA PACITAN

Pacitan merupakan salah satu kabupaten yang berada di provinsi Jawa Timur. Kabupaten Pacitan berada di ujung barat provinsi Jawa Timur. Pacitan yang juga menamakan daerahnya sebagai The Hidden Paradise In Java memiliki beberapa surga tersembunyi di daerahnya. Surga-surga tersembunyi tersebut merupakan tempat-tempat wisata yang menjadi salah satu sumber pendapatan daerah. Selain berbagai tempat wisata yang mengagumkan, Pacitan juga memiliki berbagai seni kebudayaan khas yang juga menjadi daya tarik wisata. Berbagai seni kebudayaan tersebut berasal dari 12 kecamatan yang ada di Pacitan. Masing-masing kecamatan tersebut memiliki jenis kebudayaan yang berbeda, sehingga membuat Pacitan kaya akan kebudayaan tradisional. 12 kecamatan beserta budaya tradisionalnya tersebut adalah:
ads

1. Kecamatan Bandar – Upacara adat Methik Pari


Kecamatan Bandar merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Pacitan yang memiliki keadaan geografis berupa wilayah perbukitan. Kebudayaan yang paling khas dari kecamatan Bandar adalah upacara adat Methik Pari. Methik dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai memetik, sedangkan Pari dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai padi. Methik Pari merupakan upacara memetik padi.
upacara adat Methik Pari

upacara adat Methik Pari

Upacara adat Methik Pari merupakan bentuk dari ucapan rasa syukur atas karunia Tuhan terhadap hasil panen yang memuaskan. Upacara ini diadakan menjelang panen raya dilaksanakan, biasanya satu hari menjelang panen raya. Biasanya upacara Methik Pari dilaksanakan pada malam hari. Upacara Methik Pari ini sekaligus bentuk penghormatan kepada Dewi Sri dan Joko Sadono yang dianggap merupakan perwujudan makhluk yang memberi hasil panen padi yang baik.

Upacara Methik Pari dilaksanakan sejak zaman nenek moyang. Ketika itu, nenek moyang di wilayah tersebut mulai bercocok tanam padi dan setiap bercocok tanam mereka akan melakukan ritual Methik Pari. Hingga saat ini ritual tersebut masih terjaga. Selain sebagai bentuk rasa syukur dan melestarika budaya, upacara ini juga dilakukan karena mayoritas penduduk Kecamatan Bandar adalah petani padi.

2. Kecamatan Nawangan – Kethek Ogleng

Kethek Ogleng merupakan kesenian tradisional khas Kecamatan Nawangan. Kethek dalam bahasa Indonesia berarti kera, sedangkan Ogleng diambil dari bunyi gamelan yang bersuara “gleng gleng”. Kesenian tradisional Kethek Ogleng merupakan seni tari tradisional yang berlatar belakang sejarah. Tari tersebut merupakan karya seorang petani bernama Sutiman yang baru berusia 18 tahun. Tarian tersebut diciptakan pada tahun 1963. Dalam perkembangannya, tari Kethek Ogleng menggunakan latar belakang cerita Panji yakni tentang kerajaan Jenggala dan kerajaan Kediri di Jawa yang dituangkan dalam bentuk tarian yang energik.

Esensi dari tarian Kethek Ogleng ini meliputi dua hal, yakni vertikal dan horisontal. Esensi secara vertikal melambangkan hubungan manusia dengan Tuhan. Sedangkan esensi horisontal melambangkan hubungan antar manusia dalam masyarakat yang memperlihatkan kebersamaan, kesetiakawanan, dan gotong royong.

3. Kecamatan Arjosari – Jaranan Pegon pacitan4. Kecamatan Pacitan –  Mantu Kucing5. Kecamatan Kebonagung – Baritan

Kecamatan Arjosari memiliki seni tradisional Jaranan Pegon. Jaranan Pegon merupakan seni tarian yang ditampilkan dalam acara-acara tertentu, biasanya dalam acara masyarakat yang memiliki hajatan. Jaranan Pegon merupakan jenis tarian yang bersifat sebagai hiburan. Penari Jaranan Pegon biasanya adalah para remaja laki-laki. Proses penampilan tari Jaranan Pegon ini biasanya diiringi dengan musik gamelan.

Saat menari, para penari menggunakan kuda-kudaan sebagai salah satu propertinya. Penari akan bergerak mengikuti iringan gamelan, namun lama-kelamaan para penari akan menari tanpa terkontrol karena mereka telah dirasuki oleh makhluk halus. Bagi yang jarang melihat hal ini, tentu merupakan sesuatu yang menakutkan melihat seseorang kerasukan. Namun, bagi masyarakat setempat hal tersebut sudah merupakan hal wajar.

Kecamatan Pacitan memiliki seni tradisional yang disebut Mantu Kucing. Mantu Kucing merupakan seni tradisional berupa upacara adat untuk meminta turunnya hujan. Mantu Kucing dalam bahasa Indonesia berarti pernikahan kucing. Upacara ini dilakukan dengan melakukan upacara pernikahan untuk sepasang kucing jantan dan betina.

Sepasang kucing jantan dan betina dihias sebagaimana pengantin, kemudian keduanya ditandu menuju sungai terdekat da dimandikan. Setelah dimandikan, tetua dari masyarakat akan memanjatkan doa agar segera diturunkan hujan. Setelah doa dipanjatkan, masyarakat beramai-ramai makan bersama. Hidangan yang dikonsumsi untuk makan bersama adalah nasi kuning. Jika makan bersama selesai dilakukan, selanjutnya masyarakat akan kembali ke rumah masing-masing karena dipercaya hujan yang lebat akan segera turun.
Sponsors Link

baritan
Kecamatan Kebonagung di Pacitan memiliki kebudayaan khas yang bernama Baritan. Baritan merupakan upacara adat untuk memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Upacara tersebut dianggap mampu menolak berbagai penyakit yang datang ke masyarakat.

Selain tradisi Baritan, Kecamatan Kebonagung juga memiliki tradisi bernama Eretan. Eretan merupakan sebuah ritual adat yang dilakukan oleh 10 orang pria. 10 orang pria tersebut bersama-sama menyebarkan jaring di pesisir pantai untuk mencari ikan. Sebelum pria-pria tersebut menyebar jaring, terlebih dahulu mereka di berikan doa oleh kyai di daerah tersebut. Setelah ikan didapat, para pria tersebut bersama-sama menarik jaring. Ikan yag didapat bersama-sama tersebut kemudian dibagi sesuai dengan peran masing-masing ketika menangkap ikan. Acara terakhir setelah ikan dibagikan, para pria tersebut bersama warga yang lain akan bersama-sama memakan hidangan nasi bersama ingkung (ayam utuh yang dimasak) yang telah disiapkan sebelum upacara eretan dilangsungkan. Tradisi eretan ini merupakan simbol kegotongroyongan dari warga Kebonagung.

6. Kecamatan Tulakan – Jemblung Somopuro


Kecamatan Tulakan memiliki tradisi yang disebut Jemblung Somopuro. Tradisi ini adalah upacara adat untuk mengenang seorang seniman jemblung yang bertapa di Gua Somopuro. Jemblung merupakan sarana dakwah yang dibawa dari Banyumas.

Para seniman jemblung yang membawa ajaran Islam hingga mencapai Pacitan inilah yang diperingati melalui tradisi Jemblung Somopuro. Tradisi Jemblung Somopuro dilakukan dengan mengandalkan seni teater tutur.

Kesenian ini melibatkan 4 hingga 5 orang yang terdiri atas 1 wanita dan sisanya laki-laki. Dalam pementasannya, kesenian ini murni mengandalkan kemampuan bertutur dari para lakonnya, tanpa iringan musik apapun.

7. Kecamatan Ngadirojo – Jangkrik Genggong


Jangkrik Genggong merupakan tradisi yang khas dari Kecamatan Ngadirojo. Jangkrik Genggong merupakan upacara adat yang dilaksanakan setiap hari Selasa Kliwon pada bulan Jawa Dulkaidah.

Ritual Jangkrik Genggong ini dianggap sebagai ritual sedekah bumi yang berkaitan dengan mitos penguasa laut selatan. Upacara ini juga sebagai tanda beranjak dewasanya seorang laki-laki yang siap ikut berlaut menjadi nelayan, karena sebagian besar masyarakat kecamatan Ngdirojo berprofesi sebagai nelayan. Upacara ini dilaksanakan dari siang hingga malam hari. Pada puncak acara di malam hari, dilaksanakan paguyuban seni Tayub. Menurut mitos, Ratu penguasa pantai selatan selalu meminta Gendhing Jangkrik Genggong pada acara ini, sehingga acara ini disebut juga upacara Jangkrik Genggong.

8. Kecamatan Sudimoro – Gembluk Kromomedjo


Tradisi yang khas dari Kecamatan Sudimoro adalah Gembluk Kromomedjo. Tradisi ini merupakan upacara untuk memperingati Geger Gunung Slurung. Tradisi ini erat kaitannya dengan sejarah pada tahun 1930an. Pada tahun tersebut pemerintah Belanda hendak melakukan cacah jiwa (menghitung jumlah penduduk) di wilayah Sudimoro yang masih terisolasi dari dunia luar. Sayangnya, saat itu salah satu warga bernama Kromomedjo menolak adanya cacah jiwa. Ia salah memahami maksud dari cacah jiwa (menurutnya cacah jiwa adalah hal yang akan menyakiti warga karena berupaya mencacah jiwa warga). Karena penolakannya tersebut, Kromomedjo dan pengikutnya dibunuh oleh tentara Belanda dan peristiwa itu dikenal dengan nama Geger Gunung Slurung.

9. Kecamatan Pringkuku – kothekan lesung

Ammos adalah tradisi khas dari Kecamatan Pringkuku. Ammos merupakan cikal bakal seni tradisional kothekan lesung (kothekan=memukul, lesung=alat penumbuk padi tradisional). Seni kothekan lesung sendiri saat ini telah berkembang ke seluruh Kabupaten Pacitan.

Tradisi kothekan lesung dilakukan karena masyarakat Pringkuku memiliki mata pencaharian sebagai petani. Awalnya, kothekan lesung adalah kegiatan sehari-hari yang dilakukan untuk menumbuk padi agar menjadi beras. Lama-kelamaan kegiatan harian ini menjadi sebuah tradisi. Kegiatan ini menjadi simbol kegotongroyongan masyarakat Pacitan.
Sponsors Link

10. Kecamatan Punung – Srumbung Mojo


Kecamatan Punung memiliki tradisi bernama Srumbung Mojo. Srumbung Mojo merupakan salah satu tempat di Kecamatan Punung yang dianggap  bertuah. Tradisi Srumbung Mojo merupakan kegiatan nyadran di Srumbung Mojo. Alkisah, pada zaman dahulu ada kisah yang terjadi antara kyai Santri dan Dewi Ratri. Dewi Ratri berguru dan belajar tentang alat musik gender pada Kyai Santri. Ada kabar yang menyebutkan bahwa ada jalinan cinta antara Kyai Santri dan Dewi Ratri.

Kabar tersebut didengar oleh suami Dewi Ratri dan membuatnya marah. Ia akhirnya membunuh Kyai Santri, namun sebelum meninggal Kyai Santri berucap bahwa jika darah yang keluar dari tubuhnya berwarna putih maka ia tidak berselingkuh dengan Dewi Ratri. Benar saja, ternyata darah yang keluar dari tubuh Kyai Santri berwarna putih dan akhirnya suami Dewi Ratri percaya kepada Dewi Ratri. Akhirnya, jasad Kyai Santri dimakamkan di suatu tempat dan masih sering dikunjungi.

11. Kecamatan Donorojo


Kecamatan Donorojo memiliki tradisi Ceprotan yang rutin dilaksanakan hari Minggu Kliwon atau Senin Kliwon pada bulan Dulkaidah. Tradisi ini dilaksanakan dengan melakukan bersih desa bersama-sama. Tradisi ini dilaksanakan sekaligus sebagai bentuk gotong royong yang masih erat dipegang oleh masyarakat Donorojo.

12. Kecamatan Tegalombo


Kecamatan Tegalombo khas dengan tradisi Badut Sinampurno. Tradisi ini merupakan upacara adat yang dilaksanakan untuk tolak bala. Biasanya upacara ini dilaksanakan pada acara ruwatan, saat akan menikah, atau ketika akan melaksanakan hajatan
sumber: ilmuseni

BUDAYA LAMONGAN

Lamongan merupakan salah satu kota yang ada di Jawa Timur. Kota Lamongan juga terkenal banyak budayanya diantaranya yaitu Tari Boran, Tari Mayang Madu, Tari Turonggo Solah, Tari Caping Ngancak, Tari Silir-Silir dan Tari Sinau. Dari berbagai tarian tersebut, tarian yang menjadi khas budaya dan berkembang di kota Lamongan adalah Tari Mayang Madu. Tari Mayang Madu ini menceritakan tentang perjalanan Wali Songo yang menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa, khusunya di daerah kota Lamongan yaitu Sunan Drajat. Penyebarannya melalui kesenian, salah satunya dengan musik. Musik yang dipakai adalah Singo Mengkok. Tari mayang Madu berasal dari daerah Lamongan. Tari ini biasa ditampilkan dalam bentuk tari tunggal, tari kelompok, maupun tari massal.

Tari Mayang Madu mempunyai konsep islami dan tradisional, karena Tari Mayang Madu diilhami dari kegigihan syiar agama islam di Lamongan yang disebarkan oleh Sunan Drajat dengan cara menggunakan gamelan sebagai medianya. Gamelan Sunan Drajat terkenal dengan sebutan gamelan “Singo Mengkok”. Latar belakang Sunan Drajat menggunakan media seni karena pada saat itu masyarakat banyak yang masih memeluk agama Hindu, Budha dan pengaruh dari kerajaan Majapahit. Nama tari Mayang Madu diambil dari sejarahnya Raden Qosim yang memimpin dan memberi teladan yang baik untuk kehidupan di Desa Drajat Paciran. Lalu Sultan Demak yaitu Raden Patah. Beliau memberi gelar kepada Raden Qosim yaitu Sunan Mayang Madu pada tahun 1484 Masehi. Untuk mengenang jasa perjuangan Sunan Mayang Madu atau Raden qosim, maka tarian khas Lamongan disebut dengan Tari Mayang Madu, agar masyarakat Lamongan tergugah hatinya untuk tetap meneruskan perjuangan Sunan Mayang Madu dalam menyebarkan agama islam.

Salah satu pemuka agama islam ditanah Jawa adalah Sunan Drajad, Sunan Drajad mempunyai nama asli Raden qosim, beliu lahir diperkirakan tahun 1470. Raden qosim semasa kecilnya bersama ayah handanya yaitu Sunan Ampel yang terletak di Ampeldenta Surabaya, namun ketika Raden Qosim menginjak dewasa beliau mendapatkan tugas dari ayahnya untuk menyebar luaskan ajaran agama Islam, beliau berkeliling menggunakan angkutan laut. Namun beliu terdampar disalah satu desa yaitu desa pesisir Banjarwati atau yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan kabupaten Lamongan. Raden Qosim mempunyai gelar yang disandangnya yanitu dengan sebutan Raden Syaifuddin. Diantara para wali, mungkin Sunan Drajat yang punya nama paling banyak. Semasa muda ia dikenal sebagai Raden Qasim, Qosim, atau Kasim. Masih banyak nama lain yang disandangnya di berbagai naskah kuno. Misalnya Sunan Mahmud, Sunan Mayang Madu, Sunan Muryapada, Raden Imam, Maulana Hasyim, Syekh Masakeh, Pangeran Syarifuddin, Pangeran Kadrajat, dan Masaikh Munat. Dia adalah putra Sunan Ampel dari perkawinan dengan Nyi Ageng Manila, alias Dewi Condrowati. Empat putra Sunan Ampel lainnya adalah Sunan Bonang, Siti Muntosiyah, yang dinikahi Sunan Giri, Nyi Ageng Maloka, yang diperistri Raden Patah, dan seorang putri yang disunting Sunan Kalijaga. Akan halnya Sunan Drajat sendiri, tak banyak naskah yang mengungkapkan jejaknya.

Diceritakan, Raden Qasim menghabiskan masa kanak dan remajanya di kampung halamannya di Ampeldenta, Surabaya. Setelah dewasa, ia diperintahkan ayahnya, Sunan Ampel, untuk berdakwah di pesisir barat Gresik. Perjalanan ke Gresik ini merangkumkan sebuah cerita, yang kelak berkembang menjadi legenda. Syahdan, berlayarlah Raden Qasim dari Surabaya, dengan menumpang biduk nelayan. Di tengah perjalanan, perahunya terseret badai, dan pecah dihantam ombak di daerah Lamongan, sebelah barat Gresik. Raden Qasim selamat dengan berpegangan pada dayung perahu. Kemudian, ia ditolong ikan cucut dan ikan talang –ada juga yang menyebut ikan cakalang. Dengan menunggang kedua ikan itu, Raden Qasim berhasil mendarat di sebuah tempat yang kemudian dikenal sebagai Kampung Jelak, Banjarwati. Menurut tarikh, peristiwa ini terjadi pada sekitar 1485 Masehi. Di sana, Raden Qasim disambut baik oleh tetua kampung bernama Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar.

Tokoh itu sudah diislamkan oleh pendakwah asal Surabaya, yang juga terdampar di sana beberapa tahun sebelumnya. Raden Qasim kemudian menetap di Jelak, dan menikah dengan Kemuning, putri Mbah Mayang Madu. Di Jelak, Raden Qasim mendirikan sebuah surau, dan akhirnya menjadi pesantren tempat mengaji ratusan penduduk. Yang semula cuma dusun kecil dan terpencil, lambat laun berkembang menjadi kampung besar yang ramai. Namanya berubah menjadi Banjaranyar. Selang tiga tahun, Raden Qasim pindah ke selatan, sekitar satu kilometer dari Jelak, ke tempat yang lebih tinggi dan terbebas dari banjir pada musim hujan. Tempat itu dinamai Desa Drajat.

Namun, Raden Qasim, yang mulai dipanggil Sunan Drajat oleh para pengikutnya, masih menganggap tempat itu belum strategis sebagai pusat dakwah Islam. Sunan lantas diberi izin oleh Sultan Demak, penguasa Lamongan kala itu, untuk membuka lahan baru di daerah perbukitan di selatan. Lahan berupa hutan belantara itu dikenal penduduk sebagai daerah angker.

Menurut sahibul kisah, banyak makhluk halus yang marah akibat pembukaan lahan itu. Mereka menteror penduduk pada malam hari, dan menyebarkan penyakit. Namun, berkat kesaktiannya, Sunan Drajat mampu mengatasi.Setelah pembukaan lahan rampung, Sunan Drajat bersama para pengikutnya membangun permukiman baru, seluas sekitar sembilan hektare.

Atas petunjuk Sunan Giri, lewat mimpi, Sunan Drajat menempati sisi perbukitan selatan, yang kini menjadi kompleks pemakaman, dan dinamai Ndalem Duwur. Sunan mendirikan masjid agak jauh di barat tempat tinggalnya. Masjid itulah yang menjadi tempat berdakwah menyampaikan ajaran Islam kepada penduduk. Sunan menghabiskan sisa hidupnya di Ndalem Duwur, hingga wafat pada 1522.Di tempat itu kini dibangun sebuah museum tempat menyimpan barang-barang peninggalan Sunan Drajat –termasuk dayung perahu yang dulu pernah menyelamatkannya. Sedangkan lahan bekas tempat tinggal Sunan kini dibiarkan kosong, dan dikeramatkan.

Busana yang digunakan dalam tari Mayang Madu adalah Kerudung Polos+kerudung biasa, Hiasan Kerudung, Anting-anting, Baju berlengan panjang, Sabuk, Epek, Kemben, Rok panjang, Celana. Berbagai keunikan didalam tarian Mayang Madu adalah Improfisasi pada gerak bagian pertama, Gerak tari bisa juga menggunakan lagu shalawatan, Musik gamelan dan shalawatan teradu dengan musik rebana, Busana sesuai dengan nuansa islami, Sifat Tarinya lemah lembut, gemulai, dan juga pejuang, Rias wajah cantik karena berkarakter putri.

Selain Tari Mayang Madu, di kota Lamongan juga terkenal dengan Tari Boran. Tari Boran (Sego Boran) adalah penggambaran suasana kehidupan para penjual Nasi Boran di Kabupaten Lamongan dalam menjajakan dagangannya dan berinteraksi dengan pembeli. Kesabaran, gairah, dan semangat serta ketangguhan adalah smangat mereka dalam menghadapi ketatnya persaingan dan beratnya tantangan hidup untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Iwak kutuk, sambel, sili, plethuk, peyek, gimbal, empuk adalah ciri khasku, Nasi Boran khas Lamongan. Terdapat Tari Caping Ngancak di daerah Lamongan yang juga terus berkembang karena letak dari wilayah Lamongan juga sangat agraris. Tari Caping Ngancak menceritakan tentang kehidupan masyarakat Lamongan yang sebagian besar adalah masyarakat petani. Tari ini menggambarkan proses para petani yang sedang bekerja mulai dari menanam, merawat, hingga memanen.

Selain Tari Caping Ngancak, Tari Turonggo Solah juga terkenal di kota Lamongan. Tari ini menggambarkan sekelompok prajurit berkuda yang sedang berlatih. Mereka terlihat sangat lincah. Tari ini merupakan pengembangan dari kesenian Kepang Dor yang bertujuan untuk melestarikan kesenian-kesenian yang masih sangat banyak di Kabupaten Lamongan. Tari Turonggo Solah juga berasal dari Lamongan. Tari Turonggo dapat ditampilkan dalam bentuk tunggal, berpasangan, atau secara kelompok. Tema yang dipergunakan Tari Turonggo Solah adalah tema pendidikan, yang dilatar belakangi dari Tari Kepang Jidor. Dalam penampilannya, Tari Turonggo Solah memiliki dua gaya, yaitu gaya feminim dan gagah. Penarinya membawa properti kuda-kudaan atau kuda lumping yang terbuat dari bahan bambu.Tari Turonggo Solah berkarasteristik gerakannya lincah dan gagah. Tarian ini sering disajikan sebagai tari pertunjukkan dengan iringan musik gamelan jawa, akan tetapi yang lebih dominan adalah alat musik jidor. Busana penari memakai gaya Jawa Timuran. Perlengkapan tari ini adalah Ikat kepala, Jamang, Baju, Celana, Kalung, Post dekker, Stagen, Sabuk, Rapek, Ilat – ilatan, Kain waron, Kain panjang. Jenis alat musik untuk mengiringi tarian Turonggo Solah nyanyian atau vokal manusia seperangkat gamelan jawa berlaras slendro atau pelog.

Tari Silir-Silir juga merupakan tarian yang berkembang di kota Lamongan. Seperti namanya tari silir-silir merupakan rangkaian perwujudan angin yang bertiup lembut. Angin tersebut berasal dari lambaian lembut kipas para penarinya. Oleh sebab itu tari silir-silir diperagakan oleh penari dengan membawa kipas. Mengenai ide penciptaan tarian silir-silir itu, muncul dari kondisi alam Lamongan yang panas sering membuat kegerahan. Karena itu, baik yang dirumah, di sekolah, atau di pasar sekalipun orang sering kipas-kipas karena kepanasan. Sedangkan selama proses penciptaan rangkaian seni tari ini semakin bagus. Tari Silir-Silir diangkat dari sebuah kondisi alam Kota Lamongan yang panas. Para remaja berkumpul, bercanda ria sambil menikmati tiupan angin yang berasal dari kipas yang dibawanya.

Daerah lamongan memiliki tradisi sendiri dalam melaksankan upacara pernikahan, pernikahan di Lamongan ini disebut pengantin bekasri. berasal dari kata bek dan asri, bek berarti penuh, asri berarti indah atau menarik jadi bekasri berarti penuh dengan keindahan yang menarik hati. pada dasarnya tahapan dalam pengentin bekasri dapat dijadikan dalam empat tahap yaitu tahap mencari mantu, tahap persiapan menjelang peresmian pernikahan, tahap pelaksanaan peresmian pernikahan dan tahap setelah pelaksanaan pernikahan. Tahap mencari mantu terdiri dari beberapa kegiatan yaitu, ndelok/nontok atau madik/golek lancu, nyotok/ganjur atau nembung gunem. nothog/dinten atau negesi, ningseti/lamaran, mbales/totogan, mboyongi, ngethek dina. Tahap persiapan menjelang peresmian pernikahan yaitu repotan, mbukak gedhek atau mendirikan terop, ngaturi atau selamatan. Tahapan pelaksanaan peresmian pernikahan terdiri dari, ijab kabul atau akad nikah, memberikan tata rias atau busana pengentin, upacara temu pengantin, resepsi. Tahapan setelah peresmian pernikahan yang merupakan tahapan terakhir adalah sepasaran.

Semua kegiatan masing-masing tahapan ini dapat dilaksanakan secara penuh tetapi juga dapat dilaksanakan kegiatan-kegiatan yang dianggap penting dan disesuaikan dengan situasi kondisi lokal setempat. Pada tahapan pelaksanaan kegiatan, kedua pengantin merupakan pusat perhatian semua tamu yang hadir, pengantin perlu dirias dan diberi busana yang lain dari busana sehari-hari. tata rias dan busana pengantin bekasri memiliki keunikan tersendiri yang pada dasarnya meniru busana raja dan permaisuri atau busana bangsawan. Karena daerah Lamongan pada jaman kerajaan Majapahit merupakan wilayah yang dekat dengan ibukota Majapahit, maka busana yang ditiru dengan sendirinya adalah busana raja dan permaisuri Majapahit.

Tradisi di lamongan yaitu ketika ada pernikahan si perempuan yang harus melamar atau meminang si laki-laki dahulu. Tradisi sedekah bumi atau bersih desa yaitu sebuah upacara yang digunakan untuk membersihkan desa agar terhindar dari segala musibah. Dialek dan arti bahasa orang Lamongan adalah bahasa pesisir yang lugas penuh dialek Osing, Madura, Jawa Ngoko, diwarnai budaya Arek atau Bocah. Beberapa kata-kata yang sering digunakan di daerah lamongan yaitu Menyok artinya Pohong atau ubi jalar, Bolet artinya telo atau ketela, Parek artinya cedak atau dekat

Kota Lamongan juga memiliki berbagai ritual, diantaranya adalah ritual meminta kesuburan hasil pertaniannya. bangunan candi di Desa Siser, Kecamatan Laren, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur lebih mengarah pada tempat pemujaan untuk meminta kesuburan. Hal itu biasanya ditandai dengan adanya lingga yoni di sekitar tempat tersebut, atau ada kaitannya dengan prasasi yang telah ditemukan sebelumnya. Serupa dengan situs purbakala lain di tanah air, dimana ditemukan artefak yang di dalamnya terdapat lingga yoni, selalu diikuti dengan suburnya lahan pertanian di sekitarnya. Hal ini cukup menguatkan karena Desa Siser, dan desa-desa sekitarnya merupakan area pertanian subur yang dekat dengan sungai Bengawan Solo.  Sesuai prasasti Canggu, di era Majapahit di daerah tersebut ada Naditira Pradesa. Maksudnya desa yang diberi otonomi dan bebas dari pajak. Warga dari desa potensial untuk pertanian ini memiliki hak dan kewajiban mengelola penyeberangan sungai. Bisa jadi karena berdekatan dengan Bengawan Solo, sehingga warga dari seberang akan naik perahu menuju candi untuk ritual pemujaan meminta kesuburan.

Selain ritual tersebut, di kota Lamongan juga terdapat ritual yaitu Upacara Ruwatan Ontang-Anting dan Wiwit. Upacara Ruwatan Ontang-Anting, Upacara ini bermula dari sesepuh/tokoh masyarakat yang masih mewarisi budaya nenek moyang tersebut, selalu memberi nasehat kepada sanak-saudaranya yang mempunyai anak yang harus diruwat. Apabila anak tersebut menjelang akil balig, sebelum dinikahkan dan tidak mempunyai saudara atau anak tunggal baik pria atau wanita, dua anak putra atau dua anak putri harus segera dilaksanakan upacara ruwatan. Caranya orang tua minta tolong kepada dalang untuk melaksanakan ruwatan. Sebelum dilakukan pertunjukan wayang kulit dengan lakon Ontang-Anting Bathara Kala, dalang mengupas kupat luwar dihadapan anak-anak yang akan diruwat.  Wiwit yaitu sebuah upacara atau ritual yang dilakukan pada saat akan panen atau musim panen.
Sumber: ahmatsugianto89

BUDAYA MALANG


Malang merupakan kota terbesar kedua di Jawa Timur, dan dikenal dengan julukan kota dingin. Selain dikenal dengan julukan Kota dingin, julukan Kota Malang  di mata masyarakat Indonesia beraneka ragam seperti contohnya Paris van East Java, Kota Wisata, Kota Militer, Kota Sejarah, Kota Olahraga, Kota Apel, Kota Susu, Kota Kuliner serta salah satunya ialah kota Budaya dan Kota Kesenian.

1. Batik malang

Batik adalah salah satu bentuk ekspresi kedaerahan yang melambangkan identitas dan kewibawaan Kota Malang. Batik di daerah Malang memiliki banyak karakter tergantung pada dari mana batik itu berasal.  Salah satu batik Malang yang telah digunakan dalam upacara adat sejak sebelum tahun 1900-an adalah batik bermotif Sido Mukti Malang. Batik Sido Mukti Malang memiliki motif kotak putih di bagian tengah, yang disebut Modhang Koro. Adapun motif batik lainnya antara lain: Sawat Kembang Pring (motif bambu Jawa sakbarong), Dele Kecer (hijau-merah), Kembang Kopi (gambar kopi dibelah dua berwarna hitam), dan lainnya.

Kerajinan batik khas kota Malang bisa dilihat atau dibeli sebagai kenang-kenangan dengan mendatangi stan pasar batik yang terdapat pada Pasar Pahing di Jalan Besar Ijen selama Festival Malang Kembali 2012 digelar.

2. Ludruk Malang

Ludruk Malang terlahir dari perjuangan masyarakat selama masa penjajahan. Oleh karena itu, lakon, cerita, maupun latar belakang tempat dan waktu selalu merujuk pada kehidupan sehari-hari saat masa perjuangan. Kesenian ludruk mulai tumbuh di Malang sejak tahun 1930, saat kelompok ludruk pertama bernama ludruk "Ojo Dumeh" dibentuk oleh Abdul Madjid. Setelah itu ludruk-ludruk lain mulai bermunculan di Kota Malang. Namun saat ini, hanya tersisa sedikit saja kelompok ludruk yang masih aktif di kota Malang. Hal ini dikarenakan banyaknya pemain ludruk yang beralih profesi, tempat pementasan yang minim, serta kurangnya perhatian dari banyak pihak untuk melestarikan budaya ludruk ini. Tetapi jangan khawatir, kesenian ludruk Malangan ini masih bisa disaksikan di Festival Malang Kembali 2012.

3. Topeng Malang

Banyak orang yang telah mengenal topeng Malang sebagai perwakilan budaya Kota Malang, Topeng Malang merupakan penutup wajah yang digunakan dalam pertunjukan wayang topeng yang memberikan makna jasmani atau badan yang tampak. Selain itu, topeng Malang juga digunakan dalam pagelaran Tari Topeng. Wayang Topeng Malang memiliki ciri khas dalam hal kesenirupaan, tata busana, iringan musik gamelan, dan ragam cerita yang dimainkan. Cerita topeng Malangan yang banyak digunakan bersumber pada ragam sastra lisan cerita Panji yang ruang waktu dan suasananya mengacu pada peristiwa sejarah jaman Singasari, Kediri, Daha, dan Tanah Sabrang pada masa pemerintahan Prabu Airlangga.

Tari Topeng Malang mulai muncul pada tahun 1898 dengan dua dalang pertamanya, yaitu Mbah Reni dan Mbah Gurawan. Sementara itu, pembuat topeng Malang yang terkenal hingga saat ini adalah Mbah Karimun yang berasal dari Pakis Saji, Kabupaten Malang.
Beberapa ragam hias topeng Malang antara lain ragam hias Urna (pada bagian kening), Dahi (yang menunjukkan kebangsawanan berupa bunga melati, kantil, atau teratai), dan Jamang (tutup kepala). Warna pada topeng Malang sendiri memiliki arti, yaitu putih yang melambangkan jujur, suci, dan berbudi luhur. Warna kuning yang melambangkan kemuliaan, warna hijau yang melambangkan watak ksatria, dan warna merah yang melambangkan raksasa dan angkara murka.

Dalam rangkaian Festival Malang Kembali 2012, jangan lewatkan pagelaran tari topeng dan wayang topeng Malang yang bisa disaksikan di daerah Kampoeng Kajoetangan di Jalan Wilis, serta di daerah Kampoeng Klojen Ledok yang terletak di Jalan Besar Ijen pada hari Kamis dan Sabtu, tanggal 24 dan 26 Mei 2012 pukul 20.00 - 24.00 WIB. Workshop tari topeng juga bisa dihadiri pada hari Sabtu, tanggal 26 Mei 2012 pukul 08.00 - 12.00 WIB.

Jangan lupa membawa berbagai macam souvenir topeng Malang yang bisa didapatkan di berbagai stan galeri seni yang terdapat di sepanjang Jalan Besar Ijen, selama Festival Malang Kembali berlangsung.

4. Topeng Monyet

Atraksi wisata topeng monyet tentu sering Anda jumpai di berbagai daerah. Namun, atraksi topeng monyet yang selalu digelar pada hari Minggu dan hari libur pagi sampai siang hari ini sangat sederhana dan hanya bisa ditemui di Kota Malang. Peralatan yang digunakan hanya sebuah genderang kecil untuk mengiringi setiap atraksi yang ditampilkan monyet. Para penonton juga tidak ditarik bayaran.

Atraksi lucu dari topeng monyet ini masih bisa disaksikan saat pagi hingga sore hari di kawasan Jalan Besar Ijen selama Festival Malang Kembali 2012 digelar.
sumber: merdeka

Senin, 25 September 2017

BUDAYA SURABAYA

 Surabaya merupakan kota multi etnis yang kaya akan budaya. Beragam etnis bermigrasi ke Surabaya. Sebut saja etnis Melayu, China, India, Arab dan Eropa sementara etnis Nusantara sendiri antara Lain Madura, Sunda, Batak, Kalimantan, Bali, Sulawesi datang dan menetap, hidup bersama serta membaur dengan penduduk asli membentuk pluralisme budaya yang kemudian menjadi ciri khas kota Surabaya.

Inilah yang membedakan kota Surabaya dengan kota-kota di Indonesia. Bahkan ciri khas ini sangat kental mewarnai kehidupan pergaulan sehari-hari. Sikap pergaulan yang sangat egaliter, terbuka, berterus terang, kritik dan mengkritik merupakan sikap hidup yang dapat ditemui sehari-hari. Bahkan kesenian tradisonal dan makanan khasnya mencerminkan pluralisme budaya Surabaya.

Budaya Surabaya yang terkenal antara lain Undukan Doro, Musik Patrol dan Manten Pegon. Salah satu upaya Pemerintah Kota Surabaya untuk melestarikan budaya kota Surabaya adalah dengan pemilihan Cak dan Ning Surabaya, yaitu duta budaya kota Surabaya.

Makanan dari Kota Surabaya yang wajib Anda coba

    Tahu Tek


Makanan khas Surabaya berikutnya adalah tahu tek. Makanan ini berbahan tahu yang dipotong menjadi bebentuk kotak kecil-kecil dan digoreng. Tahu ini disajikan dengan gorengan kentang, kecambah dan ketimun yang dipotong kecil dan panjang seperti acar. Hidangan ini lalu dilumuri dengan saus gelap yang terbuat dari ulegan kacang tanah dengan petis, bawang putih dan cabe. Untuk menambah nikmatnya, hidangan yang biasanya dikonsumsi malam hari ini ini juga ditaburi kerupuk udang dan bawang goreng. Disebut tahu tek karena penjualnya menggunakan gerobak dengan kentongan bambu yang berbunyi tek-tek.

    Lontong Balap

Makanan khas Surabaya ini terbuat dari bahan lontong, tahu dan letho. Lontong dan tahunya diiris tipis-tipis dan ditaburi remesan lentho. Sajian ini lalu dilengkapi dengan sejumlah besar tauge yang direbus hingga setengah matang dan diberi kuah. Kecap, sambal dan bawang goreng ditambahkan agar membuat makanan ini semakin nikmat. Biasanya, orang Surabaya mengkonsumsi makanan ini bersama dengan sate kerang. Konon, nama lontong balap timbul karena dulunya para penjual saling berbalap menuju Wonokromo mengangkut wadah besar untuk mencari pembeli.

    Pecel Semanggi

Jenis makanan khas Jawa Timur ini sangat seru untuk disantap. Dibuat dari daun semanggi yang dikukus dan kemudian dinikmati dengan sambal membuat lidah tak tahan menahan selera.Pecel ini berbahan dan bumbu mirip dengan pecel-pecel dari daerah lainnya, hanya saja sayurannya menggunakan bahan daun dari tumbuhan semanggi. Biasanya pecel semanggi disajikan dengan wadah daun pisang.

    Rujak Cingur

Rujak adalah makanan yang terkenal di banyak tempat di Indonesia. Namun, berbeda dengan rujak-rujak lain yang berisi buah-buahan disiram dengan sambal gula merah, di Surabaya, rujak ada dua macam. Jenis yang biasa kita konsumsi yang berbahan mangga, bengkoang, mentimun dan nanas dengan bumbu gula merah, kacang dan asam dikenal sebagai rujak manis atau rujak buah. Sedangkan, di Surabaya sendiri ada rujak khas yang bernama rujak cingur yang sangat terkenal di Jawa Timur.

Cingur atau congor adalah kata dalam Bahasa Jawa yang berarti mulut. Yang dimaksud adalah moncong sapi yang direbus dan diiris tipis-tipis dan dijadikan bahan hidangan ini. Selain cingur, rujak ini juga menyertakan irisan buah seperti mentimun, mangga muda, nanas, dan bengkoang ditambahkan dengan sayur- mayur seperti kangkung, kacang panjang, kecambah dan tahu, tempe, serta menjes atau mendoan. Makanan ini disajikan dengan saus dari ulegan bumbu kacang, petis udang dan pisang kluthuk yang dihidangkan dengan lontong dan sangat cocok sebagai menu makan siang.

    Sate Kol
Kol adalah hewan mirip dengan kerang namun hidupnya di sawah dan berukuran lebih besar. Sate kol merupakan salah satu makanan khas Surabaya dimana beberapa kol ditusuk dengan tusuk sate dan dipanggang lalu dilumeri bumbu kecap atau bumbu merah. Makanan yang mengandung banyak protein ini biasanya dijual per tusuk dengan harga mulai Rp. 2.000 saja.

Nah, itulah beberapa kuliner dari Kota Surabaya yang patut Anda buru ketika berkunjung ke kota terbesar kedua di Pulau Jawa ini. Makanan Khas Surabaya siap disantap! Selamat berburu kuliner!


Kesenian di Surabaya yang harus Anda tahu

Kehidupan berkesenian Kota Surabaya tumbuh dengan baik. Kesenian tradisional dan modern saling melengkapi membentuk keragaman kesenian Surabaya. Kesenian tradisional tumbuh karena perjalanan sejarah melawan penjajahan zaman dahulu sampai saat ini tetap dilestarikan. Bentuk kesenian tradisional banyak ragamnya. Ada seni tari, seni musik dan seni panggung.

Sudah sangat dikenal kalau Ludruk adalah kesenian rakyat asli Jawa Timur. Kesenian rakyat yang berasal dari Jombang ini, menjadi maskot budaya khas Surabaya, terutama tarian Ngremo – nya. Ludruk sudah ada sejak jaman Jepang sekitar tahun 1942. Dan menjadi sangat populer di Surabaya sejak zaman revolusi.

Gending Jula-Juli Suroboyo, Tari Remo, Kentrung, Okol, Seni Ujung, Besutan, upacara Loro Pangkon, Tari Lenggang Suroboyo dan Tari Hadrah Jidor.
Sementara kesenian modern juga tumbuh pesat. Sejumlah sanggar tari berkonsentrasi mengembangkan perpaduan seni tradisional dan modern. Namun demikian banyak group tari mengembangkan kreasi modern, misalnya Marlupi Dance, Gito Maran.

Upaya untuk mewujudkan kehidupan berkesenian di Surabaya dikembangkan Dewan Kesenian Surabaya (DKS) maupun perkumpulan-perkumpulan seni teater, seni lukis dan musik. Pameran seni lukis maupun seni teater seringkali diselenggarakan di Gedung Balai Pemuda. Sementara pagelaran seni tari tradisional selalu digelar di Taman Hiburan Rakyat (THR) dan Taman Budaya. Surabaya Symphony Orchestra (SSO) juga mengambil peran penting dalam menumbuhkan seni musik di Surabaya.

Ciri Khas Surabaya
Dialek Arekan atau lebih sering dikenal sebagai bahasa Arekan (Bahasa Jawa : boso Arekan) atau bahasa Suroboyoan adalah sebuah dialek bahasa Jawa yang dituturkan di Surabaya dan sekitarnya. Dialek ini berkembang dan digunakan oleh sebagian masyarakat Surabaya dan sekitarnya. Secara struktural bahasa, bahasa Suroboyoan dapat dikatakan sebagai bahasa paling kasar. Meskipun demikian, bahasa dengan tingkatan yang lebih halus masih dipakai oleh beberapa orang Surabaya, sebagai bentuk penghormatan atas orang lain. Namun penggunaan bahasa Jawa halus (madya sampai krama) di kalangan orang-orang Surabaya kebanyakan tidaklah sehalus di Jawa Tengah terutama Yogyakarta dan Surakarta dengan banyak mencampurkan kata sehari-hari yang lebih kasar.
sumber:wisatahits

BUDAYA BANYUWANGI

Sejarah Banyuwangi tidak lepas dari sejarah Kerajaan Blambangan. Pada pertengahan abad ke-17, Banyuwangi merupakan bagian dari Kerajaan Blambangan yang dipimpin oleh Pangeran Tawang Alun. Pada masa ini secara administratif VOC menganggap Blambangan sebagai wilayah kekuasannya, atas dasar penyerahan kekuasaan jawa bagian timur (termasuk blambangan) oleh Pakubuwono II kepada VOC. Namun VOC tidak pernah benar-benar menancapkan kekuasaanya sampai pada akhir abad ke-17, ketika pemerintah Inggris menjalin hubungan dagang dengan Blambangan. Daerah yang sekarang dikenal sebagai “kompleks Inggrisan” adalah bekas tempat kantor dagang Inggris.

VOC segera bergerak untuk mengamankan kekuasaanya atas Blambangan pada akhir abad ke-18. Hal ini menyulut perang besar selama lima tahun (1767–1772). Dalam peperangan itu terdapat satu pertempuran dahsyat yang disebut Puputan Bayu sebagai merupakan usaha terakhir Kerajaan Blambangan untuk melepaskan diri dari belenggu VOC. Pertempuran Puputan Bayu terjadi pada tanggal 18 Desember 1771 yang akhirnya ditetapkan sebagai hari jadi Banyuwangi. Namun pada akhirnya VOC-lah yang memperoleh kemenangan dengan diangkatnya R. Wiroguno I (Mas Alit) sebagai bupati Banyuwangi pertama dan tanda runtuhnya kerajaan Blambangan.

Tokoh sejarah fiksi yang terkenal adalah Putri Sritanjung yang di bunuh oleh suaminya di pinggir sungai karena suaminya ragu akan janin dalam rahimnya bukan merupakan anaknya tetapi hasil perselingkuhan ketika dia ditinggal menuju medan perang. Dengan sumpah janjinya kepada sang suami sang putri berkata: “Jika darah yang mengalir di sungai ini amis memang janin ini bukan anakmu tapi jika berbau harum (wangi) maka janin ini adalah anakmu”. Maka seketika itu darah yang mengalir ke dalam sungai tersebut berbau wangi, maka menyesalah sang suami yang dikenal sebagai Raden Banterang ini dan menamai daerah itu sebagai Banyuwangi.

Tokoh sejarah lain ialah Minak Djinggo, seorang Adipati dari Blambangan yang memberontak terhadap kerajaan Majapahit dan dapat ditumpas oleh utusan Majapahit, yaitu Damarwulan. Namun sesungguhnya nama Minak Djinggo bukanlah nama asli dari adipati Blambangan. Nama tersebut diberikan oleh masyarakat Majapahit sebagai wujud olok-olok kepada Brhe Wirabumi yang memang keturunan dari kerajaan Majapahit.


MAKANAN KHAS BANYUWANGI


RUJAK SOTO
Rujak Soto  merupakan jenis makanan perpaduan antara dua kuliner yangberbeda, yaitu Rujak dan Soto, makanan ini terdiri dari berbagai aneka sayuran, tahu, lontong, dan tempe yang dicampur bumbu kacang, kemudian disiram dengan kuah soto berisikan kulit sapi atau babat dan cabe rawit. Perpaduan dua kuliner ini menghasilkan cita rasa yang khas dan unik pada kuliner banyuwangi yang satu ini.

SEGO TEMPONG
Menu ini disajikan dengan beragam sayur-sayuran, seperti daun singkong, ketimun, kacang panjang, terong, dll. Dengan lauk tahu, tempe goreng, ikan asin dan perkedel jagung, nasi hangat serta sambal khas membuat kita berselera makan. makanan ini cocok sekali untuk kalian yang penggemar makanan pedas,karena memang sambal yang disajikan memanglah pedas. seperti namanya, Sego Tempong terdiri dari 2 kata yaitu sego yang artinya nasi dan Tempong berarti tempeleng. bisa diartikan menu ini bisa membuat kamu merasa ditempeleng setelah melahapnya karena sambal yang disajikan super pedas.

 Nasi Cawuk atau Sego Cawuk
 Sego cawuk berasal dari kebiasaan masyarakat saat makan, langsung dengan menggunakan tangan. Cara makan tersebut oleh masyarakat Banyuwangi dinamakan “cawuk”. Nasi Cawuk biasanya disiram dengan kuah pindang yang dimasak dengan cara gendam. Cara memasak ini hanya ada di Banyuwangi, kuah pindang masak gendam akan menghasilkan kuah pindang yang bening dan manis, karena memasaknya menggunakan gula pasir. Selain itu, kalian bisa meminta lauk tambahan seperti pelasan atau pepes ikan laut, kikil, dendeng, dan juga telur di masak pindang sesuai selera. Sego Cawuk biasa dinikmati sebagai sarapan pagi.

 Pecel Pitik
 Menu makanan khas Banyuwangi ini bernama pecel pitik yang berasal dari bahan parutan kelapa muda, dicampur dengan kacang yang sudah dihaluskan. Kacang yang sudah disangrai itu dicampur lagi dengan beragam rempah, bumbu pedas diaduk rata dengan sedikit air kelapa muda agar bumbu meresap. Bahan-banhan ini kemudian disajikan dengan pitik dalam bahasa Indonesia disebut ayam. Pitik dibakar terlebih dahulu agar dagingnya lebih lunak. Dan pitik yang digunakan adalah ayam kampung muda berumur sekitar 8 bulan. Namun tidak mudah mendapatkan Pecel Pitik di Banyuwangi. dikarenakan, makanan ini hanya disajikan ketika masyarakat menggelar acara adat, atau ritual-ritual lain. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga tradisi yang telah diwariskan oleh leluhur. Lalu bagaimana jika ingin menikmati Pecel Pitik? Desa Adat Kemiren adalah salah satu Desa tujuan wisata yang akan membuatkan kuliner khas Kota Gandrung tersebut jika wisatawan memesannya.

 Jangan Daun Kelor
 Jangan Daun kelor atau Sayur Daun Kelor adalah salah satu kuliner khas Banyuwangi dan menjadi masakan favorit bagi masyarakat, daun kelor yang umumnya di gunakan untuk acara spiritual atau adat tradisi jawa seperti memandikan mayat, di Banyuwangi menjadi konsumsi sehari – hari. Daun kelor dimasak menjadi sayur bening seperti halnya sayur bayam. Rasa daun kelor hampir sama seperti sayur bayam, Cara memasaknya pun cukup mudah, daun kelor terebih dimasak dahulu  lalu ditambahkan bumbu-bumbu yang telah dipotong. Cara penyajian jangan kelor didaerah Banyuwangi yaitu, menggunakan nasi ditambahkan sambel tempong, ikan asin, tempe, tahun, dan gimbal jagung.

 Jangan Klentang
 Jangan klenthang adalah merupakan kuliner khas Kabupaten Banyuwangi yang tersebar diseluruh kabupaten Banyuwangi. Jangan klentang merupakan menu makanan sehari-hari masyarakat Banyuwang Bahan – bahan yang diguanakan untuk membuat jangan klenthang ini berasal dari klentang atau buah dari kelor, sebanyak satu ikat. Bumbu yang digunakan terdiri dari lombok besar, terasi, laos, lengkuas dan belimbing wuluh. Untuk cara membuat jangan klenthang dengan mencampur semua bumbu menjadi satu kemudian memasukkan bumbu kedalam kelentang yang telah direbus. Keunikan dari kuliner ini adalah dari cara menikmatinya, dengan menghisap bagian tengah buah klentang yang memilki tekstur lembut dan segar, atau bisa juga membuka bagian luar buah klentang atau kulit dan memisahkan antara bagian lembut / daging buah dan biji.

TARIAN KHAS BANYUWANGI


Tari Gandrung
Tari Banyuwangi yang satu ini telah menjadi lambang kota Banyuwangi hingga Banyuwangi sering dipanggil sabagai Kota Gandrung. Tari Gandrung adalah tari perayaan panen yang terinspirasi pada pesona Dewi Sri yang dianggap sebagai Dewi Padi dan Kemakmuran. Pada awalnya tarian ini diperankan oleh para laki-laki yang didandani layaknya para perempuan. Namun kini para penari perempuan yang masih terlihat aktif. Hal ini dikarenakan fatwa para ulama’ yang melarang laki-laki berdandan dan berkelakuan seperti perempuan. Namun yang kini menjadi ikon Kota Banyuwangi adalah Tarian Gandrung wadon atau Tarian Gandrung Wanita.

Tari Seblang
Tari seblang merupakan cikal bakal terciptanya tari gandrung. Tari ini masih dilestarikan dua desa di Banyuwangi, yakni Desa Oleh Sari dan Desa Bakungan. Dua desa ini memiliki kesamaan dalam pelaksannanya yakni penari adalah seorang wanita yang ketika menari dimasuki roh halus nenek moyang. Namun dua desa ini juga memiliki beberapa perbedaan dalam detail pelaksanaannya. Desa Oleh Sari memilih penari seorang wanita kecil yang belum akil balig. Sedangkan di Desa Bakungan penarinya adalah wanita yang sudah berumur dan tidak lagi mengalami haid (menopause). Waktu pelaksanaan juga berbeda, jika Desa Oleh Sari melaksanakannya di satu minggu setelah Hari Raya Idul Fitri, maka Desa Bakungan melaksanakannya satu minggu setelah Hari Raya Idul Adha.

Tari Erek-erek
Tari Banyuwangi yang satu ini lebih menuju ke arah tata cara pemuda dan pemudi memulai hubungan asmara. Diawali dengan memandang, mengatur pertemuan khusus hingga menuju pada hubungan yang lebih serius.

Tari Santri Mulih
Merupakan tari Banyuwangiyang cukup baru hadir di Banyuwangi. Tarian ini diciptakan oleh Bp. Sumitro atau yang biasa dipanggil Kang Mitro pendiri dan pemimpin Sanggar Tari Jingga Putih. Tari ini diciptakan tahun 2008. Sedangkan tema yang diambil adalah kisah para santri pesantren yang menimba ilmu di pesantren dan akhirnya kembali ke rumah dan berbaur kembali dengan masyarakat.
sumber : telusurindonesia

Sabtu, 16 September 2017

BUDAYA MADIUN


Madiun merupakan suatu wilayah yang dirintis oleh Ki Panembahan Ronggo Jumeno atau biasa disebut Ki Ageng Ronggo. Asal kata Madiun dapat diartikan dari kata "medi" (hantu) dan "ayun-ayun" (berayunan), maksudnya adalah bahwa ketika Ronggo Jumeno melakukan "Babat tanah Madiun" terjadi banyak hantu yang berkeliaran. Penjelasan kedua karena nama keris yang dimiliki oleh Ronggo Jumeno bernama keris Tundhung Medhiun. Pada mulanya bukan dinamakan Madiun, tetapi Wonoasri.

Sejak awal Madiun merupakan sebuah wilayah di bawah kekuasaan Kesultanan Mataram. Dalam perjalanan sejarah Mataram, Madiun memang sangat strategis mengingat wilayahnya terletak di tengah-tengah perbatasan dengan Kerajaan Kadiri (Daha). Oleh karena itu pada masa pemerintahan Mataram banyak pemberontak-pemberontak kerajaan Mataram yang membangun basis kekuatan di Madiun. Seperti munculnya tokoh Retno Dumilah Beberapa peninggalan Kadipaten Madiun salah satunya dapat dilihat di Kelurahan Kuncen, di mana terdapat makam Ki Ageng Panembahan Ronggo Jumeno, Patih Wonosari selain makam para Bupati Madiun, Masjid Tertua di Madiun yaitu Masjid Nur Hidayatullah, artefak-artefak disekeliling masjid, serta sendang (tempat pemandian) keramat.

Kota Madiun dahulu merupakan pusat dari Karesidenan Madiun, yang meliputi wilayah Magetan, Ngawi, Ponorogo, dan Pacitan. Meski berada di wilayah Jawa Timur, secara budaya Madiun lebih dekat ke budaya Jawa Tengahan (Mataraman atau Solo-Yogya), karena Madiun lama berada di bawah kekuasaan Kesultanan Mataram.

Pada tahun 1948, terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh PKI di Madiun yang dipimpin oleh Musso di daerah Dungus, Wungu, Kabupaten Madiun yang sekarang di kenal dengan nama Monumen Kresek.

TARI KHAS MADIUN

Asal Mula Dongkrek


Kesenian Dongkrek merupakan kesenian asli Kabupaten Madiun. Didirikan pada tahun 1867 di Kecamatan Caruban (sekarang: Kec. Mejayan). Dongkrek didirikan dan populer pada masa Raden Prawirodipuro, yang saat itu menjadi demang (Kepala Desa).
Asal mula Kesenian Dongkrek adalah pada masa itu, Kecamatan Caruban dilanda pagebluk atau mewabahnya penyakit mematikan. Melihat kondisi seperti itu, Raden Prawirodipuro melakukan meditasi dan bertapa di wilayah Gunung Kidul Caruban. Ia kemudian mendapatkan wangsit untuk membuat kesenian yang mampu mengusir balak. Wangsit tersebut berupa penduduk Caruban diserang oleh roh halus (Genderuwo). Sehingga penduduk Caruban harus membuat kesenian yang mampu mengusir roh jahat tersebut keluar dari wilayah Caruban.

Bunyi Kesenian Dongkrek


Alat musik Dongkrek terdiri atas kendang atau bedug dan alat musik korek. Alat kendang berbunyi "dung", dan korek berbunyi "krek".Kedua alat musik tersebut dibunyikan secara bergantian sehingga terdengar bunyi "dung" - "krek" - "dung" - "krek".
namun, dalam perkembangannya alat musik dongkrek menggunakan alat musik lain berupa gong, kenung, kentongan, kendang, dan gong berry sebagai perpaduan budaya Islam, budaya Cina, dan kebudayaan masyarakat Jawa pada umumnya.

Komposisi Pemain Dongkrek


Komposisi pemain fragmen satu babak pengusiran roh halus terdiri dari barisan buta (dari bahasa Jawa yang berarti buto atau raksasa), orang tua sakti, dan dua perempuan paruh baya. Perempuan ini menyimbolkan kondisi rakyat yang lemah karena dikepung oleh para pasukan buta Kala. Sebelum pasukan buta berhasil mematikan para perempuan, muncul sesosok lelaki tua sakti yang dengan tongkatnya berhasil mengusir para barisan roh halus untuk pergi menjauh.
Selanjutya terjadi peperangan cukup sengit antara rombongan buta dengan orang tua sakti, yang dimenangkan oleh si lelaki sakti. Rombongan buta yang kalah akhirnya menurut dan patuh. Si orang tua sakti yang didampingi dua perempuan menggiring pasukan buta Kala keluar dari Desa Mejayan. Sirnalah pagebluk yang menyerang rakyat Desa Mejayan selama ini.
Tradisi ini kemudian menjadi ciri kebudayaan masyarakat Caruban dengan sebutan Dongkrek, yaitu satu kesenian yang menyiratkan pesan bahwa setiap maksud jahat akhirnya akan lebur juga dengan kebaikan dan kebenaran, hal ini sesuai dengan moto sura dira jaya ningrat, ngasta tekad darmastuti.

Dongkrek Masa Kini


Sangat disayangkan kesenian Dongkrek ini kurang populer bahkan di masyarakat Madiun sendiri. Banyak yang tidak mengetahui mengenai kesenian satu ini. Itulah kenapa pada tahun 1973 Dongkrek coba kembali digali dan dikembangkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Madiun dan Propinsi Jawa Timur. Tahun 1980 kembali diadakan garap tari oleh Suwondo, Kepala Seksi Kebudayaan Dinas P dan K Kabupaten Madiun. Namun, kemudian semakin lama kesenian Dongkrek ini semakin tenggelam dan menjadi tak terkenal.
Pada tahun 1996 Pemerintah Kabupaten Madiun pernah melaksanakan Festival Dongkrek di tingkat kabupaten dengan hasil yang menggembirakan. Pada tahun 2002 Dongkrek diikutkan pada festival-festival di luar kota Madiun, termasuk Festival Cak Durasim, Surabaya. Bahkan pernah pula tampil di Istana Negara.

MAKANAN KHAS MADIUN 

BREM

 Brem pertama kali diketahui berasal dari Kecamatan Caruban (sekarang: Mejayan), tepatnya dari Desa Kaliabu. Brem terbuat dari sari ketan putih yang dimasak dan dikeringkan, merupakan hasil dari fermentasi ketan hitam yang diambil sarinya saja yang kemudian diendapkan dalam waktu sekitar sehari semalam. Sensasi makanan ini muncul ketika brem dimasukkan ke dalam mulut,sehingga akan langsung mencair dan lenyap meninggalkan rasa "semriwing".
Brem dikemas berbentuk lempengan agak kekuningan, rata-rata berukuran kurang lebih 15 cm x 5 cm x 0,5 cm. Untuk lebih memaksimalkan pemasarannya, brem kini dikemas dalam bentuk kecil kecil seukuran permen, sehingga mudah untuk dikantongi. Biasanya pada sekitar tahun 80-an, brem dalam bentuk ini dijual asongan oleh para pedagang di sekitar stasiun-stasiun di kereta api di daerah Jawa Timur.
Sejumlah pengusaha mengatakan bahwa pembuatan brem sudah ada sebelum Belanda menjajah bumi pertiwi. Resep dan cara pembuatan brem diwariskan turun temurun. Bedanya, zaman dulu brem dijual tanpa merek. Kini, pengusaha melabeli produknya untuk memudahkan promosi dan menggaet pembeli. Di Madiun, sebagian besar merek brem menggunakan nama suling seperti Suling Mas, Suling Gading, Suling Mustika, dan Suling Istimewa.
Proses pembuatan brem, dimulai dengan pembuatan tape dari beras ketan putih. 20 kg beras ketan putih kwalitas super, dicuci bersih dan direndam kurang lebih 4-6 jam. Setelah itu dicuci bersih dan ditiriskan. Beras ketan lalu ditanak dengan menggunakan kukusan ( bhs.jawa : dikekel ) selama 1 jam. Setelah dikekel, beras ketan dikaru dengan air panas dan ditanak lagi 1 jam.
Beras ketan yang sudah matang didinginkan dengan cara diangin-anginkan ( jawa : diler ) diatas tampah. Setelah dingin,beras ketan di taburi ragi sampai merata. Setiap 1 kg beras ketan, membutuhkan 1 biji ragi. Kemudian beras ketan dimasukkan ke dalam bak/ panci untuk diperam selama 8 hari. Setelah 8 hari beras ketan sudah menjadi tape. Selanjutnya adalah memeras tape, untuk mendapatkan air sarinya. Air perasan tape lalu direbus di atas api yang besar, sampai kental. Ampas tape diberi air secukupnya dan diperas lagi untuk mengeluarkan sari tape yang masih tersisa. Air perasan yang kedua ini,direbus secara terpisah, sampai kekentalannya sama dengan yang pertama, baru keduanya di campurkan. Air campuran ini direbus sampai lebih kental lagi,baru di masukkan ke dalam mesin pengaduk (mixer). Adonan di tambahkan soda kue sebanyak 2 sendok makan dan dimixer sampai putih dan pekat, +/- 30 menit.
Setelah adonan menjadi putih dan pekat, di tuang di atas loyang yang panjangnya +/- 4 meter dan lebarnya 60 cm. Adonan diaduk secara beraturan sepanjang loyang dan di lakukan berulang-ulang sampai adonan terasa agak kering. Pengadukan ini dimaksudkan untuk memadatkan brem. Lalu permukaan brem dihaluskan dengan menggunakan sebilah papan, digeser dari ujung satu ke ujung yang lain berkali-kali sampai halus. Setelah itu didiamkan semalam agar mongering barulah kemudian brem dipotong-potong menurut ukuran yang diinginkan lalu dijemur di bawah terik matahari, untuk menghilangkan kadar air yang masih tersisa. Setelah kering betul brem diangkat dan dikemas. Brem siap untuk di pasarkan. 

PECEL MADIUN 

 Madiun terdapat banyak sekali makanan khas dan tentunya rasanya bisa dijamin. Contoh makanan yang khas dari madiun adalah brem, nasi jotos, dan nasi pecel. Brem merupakan makanan yang difermentasi dari ketan hitam yang telah dimasak dan dikeringkan lalu diambil sarinya saja dan kemudian diendapkan dalam waktu sehari semalam. Nasi jotos juga salah satu makanan khas Madiun yang di dalamnya terdapat kering, mie, sambal dan juga telur. Makanan khas terakhir dari Madiun adalah nasi pecel, siapa di negara ini yang tidak kenal makanan yang sehat bergizi serta nikmat ini. Makanan yang menggunakan bumbu sambal kacang sebagai bahan utamanya yang dicampur dengan aneka jenis sayuran. Asal kata dan daerah pecel belum diketahui secara pasti, tetapi dalam bahasa Jawa, pecel dapat diartikan sebagai ‘tumbuk’ atau ‘dihancurkan dengan cara ditumbuk’. Nasi Pecel ini juga menjadi makanan terfavorit di berbagai kalangan di Kota Madiun.
Sumber :  wikipedia


Rabu, 13 September 2017

BUDAYA NGAWI


Asal usul NGAWI


Kata Ngawi berasal dari kata awi, bahasa Sanskerta yang berarti bambu dan mendapat imbuhan kata ng sehingga menjadi Ngawi. Dulu Ngawi banyak terdapat pohon bambu. Seperti halnya dengan nama-nama di daerah-daerah lain yang banyak sekali nama-nama tempat (desa) yang di kaitkan dengan nama tumbuh-tumbuhan. Seperti Ngawi menunjukkan suatu tempat yang di sekitar pinggir Bengawan Solo dan Bengawan Madiun yang banyak ditumbuhi bambu.[3] Nama ngawi berasal dari “awi” atau “bambu” yang selanjutnya mendapat tambahan huruf sengau “ng” menjadi “ngawi”. Apabila diperhatikan, di Indonesia khususnya jawa, banyak sekali nama-nama tempat (desa) yang dikaitkan dengan flora, seperti : Ciawi, Waringin Pitu, Pelem, Pakis, Manggis dan lain-lain.

Penelusuran Hari jadi Ngawi dimulai dari tahun 1975, dengan dikeluarkannya SK Bupati KDH Tk. II Ngawi Nomor Sek. 13/7/Drh, tanggal 27 Oktober 1975 dan nomor Sek 13/3/Drh, tanggal 21 April 1976. Ketua Panitia Penelitian atau penelusuran yang di ketuai oleh DPRD Kabupaten Dati II Ngawi. Dalam penelitian banyak ditemui kesulitan-kesulitan terutama narasumber atau para tokoh-tokoh masayarakat, namun mereka tetap melakukan penelitian lewat sejarah, peninggalalan purbakala dan dokumen-dokumen kuno.

Di dalam kegiatan penelusuran tersebut dengan melalui proses sesuai dengan hasil sebagai berikut :

    Pada tanggal 31 Agustus 1830, pernah ditetapkan sebagai Hari Jadi Ngawi dengan Surat Keputusan DPRD Kabupaten Dati II Ngawi tanggal 31 Maret 1978, Nomor Sek. 13/25/DPRD, yaitu berkaitan dengan ditetapkan Ngawi sebagai Order Regentschap oleh Pemerintah Hindia Belanda.
    Pada tanggal 30 September 1983, dengan Keputusan DPRD Kabupaten Dati II Ngawi nomor 188.170/2/1983, ketetapan diatas diralat dengan alasan bahwa tanggal 31 Agustus 1830 sebagai Hari Jadi Ngawi dianggap kurang Nasionalis, pada tanggal dan bulan tersebut justru dianggap memperingati kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda.
    Menyadari hal tersebut Pada tanggal 13 Desember 1983 dengan Surat Keputusan Bupati KDH Tk. II Ngawi nomor 143 tahun 1983, dibentuk Panitia/Tim Penelusuran dan penulisan Sejarah Ngawi yang diktuai oleh Drs. Bapak Moestofa.
    Pada tanggal 14 Oktober di sarangan telah melaksanakan simposium membahas Hari Jadi Ngawi oleh Bapak MM.Soekarto K, Atmodjo dan Bapak MM. Soehardjo Hatmosoeprobo dengan hasil symposium tersebut menetapkan :

    Menerima hasil penelusuran Bapak Soehardjo Hatmosoeprobo tentang Piagam Sultan Hamengku Buwono tanggal 2 Jumadilawal 1756 Aj, selanjutkan menetapkan bahwa pada tanggal 10 Nopember 1828 M, Ngawi ditetapkan sebagai daerah Narawita (pelungguh) Bupati Wedono Monco Negoro Wetan. Peristiwa tersebut merupakan bagian dari perjalanan Sejarah Ngawi pada zaman kekuasaan Sultan Hamengku Buwono.
    Menerima hasil penelitian Bapak MM. Soekarto K. Atmodjo tentang Prasasti Canggu tahun 1280 Saka pada masa pemerintahan Majapahit di bawah Raja Hayam Wuruk. Selanjutmya menetapkan bahwa pada tanggal 7 Juli 1358 M, Ngawi ditetapkan sebagai Naditirapradesa (daerah penambangan) dan daerah swatantra. Peristiwa tersebut merupakan Hari Jadi Ngawi sepanjang belum diketahui data baru yang lebih tua.
Melalui Surat Keputusan nomor : 188.70/34/1986 tanggal 31 Desember 1986 DPRD Kabupaten Dati II Ngawi telah menyetujui tentang penetapan Hari Jadi Ngawi yaitu pada tanggal 7 Juli 1358 M. Dan ditetapkan dengan Surat Keputusan Bupati KDH Tk. II Ngawi No. 04 Tahun 1987 pada tanggal 14 Januari 1987. Namun Demikian tidak menutup kemungkinan untuk melakukan penelusuran lebih lanjut serta menerima masukan yang berkaitan dengan sejarah Ngawi sebagai penyempurnaan di kemudian hari
Kabupaten Ngawi terletak di wilayah barat Provinsi Jawa Timur yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah. Luas wilayah Kabupaten Ngawi adalah 1.298,58 km2, di mana sekitar 40 persen atau sekitar 506,6 km2 berupa lahan sawah. Secara administrasi wilayah ini terbagi ke dalam 19 kecamatan dan 217 desa, di mana 4 dari 217 desa tersebut adalah kelurahan. Pada tahun 2004 berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) wilayah Kabupaten Ngawi terbagi ke dalam 19 kecamatan, namun karena prasaranan administrasi di kedua kecamatan baru belum terbentuk maka dalam publikasi ini masih menggunakan Perda yang lama.
Secara geografis Kabupaten Ngawi terletak pada posisi 7°21’ - 7°31’ Lintang Selatan dan 110°10’ - 111°40’ Bujur Timur. Topografi wilayah ini adalah berupa dataran tinggi dan tanah datar. Tercatat 4 kecamatan terletak pada dataran tinggi yaitu Sine, Ngrambe, Jogorogo dan Kendal yang terletak di kaki Gunung Lawu.
Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Grobogan, Kabupaten Blora (keduanya termasuk wilayah Provinsi Jawa Tengah), dan Kabupaten Bojonegoro di utara, Kabupaten Madiun di timur, Kabupaten Magetan dan Kabupaten Madiun di selatan, serta Kabupaten Sragen (Jawa Tengah) di barat. Bagian utara merupakan perbukitan, bagian dari Pegunungan Kendeng. Bagian barat daya adalah kawasan pegunungan, bagian dari sistem Gunung Lawu.


 kesenian yang ada di Ngawi



    Jamasan Pusoko           

  Adalah upacara adat turun temurun yang diwarisi oleh pendiri Ngawi , yang merupakan kegiatan tahunan setiap memperingati hari jadi kota Ngawi. Jamasan Pusaka meliputi 2 (dua) buah Tombak yaitu : Kyai Singkir dan Kyai Songgolangit serta 2 (dua) buah Payung yaitu ; Tunggul Wulung dan Tunggul Warono. Ritual ini di pimpin langsung oleh Bupati Ngawi Ir. Budi Sulistyono yang diikuti oleh Unspinda ( Unsur Pimpinan Daerah ) serta para staf di lingkungan Pemerintah Kabupaten Ngawi dengan memakai baju adat Kejawen.

    Tari Orek-orek


Ngawi dikenal sebagai bumi orek-orek sejak tahun 1980-an , sebutan bumi orek-orek ini karena tari orek- orek ini tumbuh subuh dan berkembang dimasyarakat. Tari orek-orek adalah tari asli Ngawi , tari ini dilakukan berpasang-pasangan. Tari ini selalu dibawakan disetiap acara yang diselenggarakan oleh daerah maupun perorangan. Tarian ini menggambarkan muda mudi masyarakat desa yang sehabis kerja berat gotong royong, melakukan tarian gembira ria untuk melepaskan lelah.

    Keduk Beji


Adalah suatu acara adat yang dilakukan oleh masyarakat Ngawi khususnya desa Tawun. Tujuan dari acara ini adalah menguras atau membersihkan sumber beji atau kotoran. Menurut masyarakat sekitar, Keduk Bedji harus dilaksanakan pada hari Selasa Kliwon setelah panen di bulan Oktober. Inti dari ritual ini, terletak pada penyilepan atau penyimpanan kendi di pusat sumber air Beji. Pusat sumber tersebut terdapat di dalam gua yang terdapat di dalam sumber. Ritual ini berawal dari pengedukkan atau pembersihan kotoran di dalam sumber Beji. Seluruh pemuda desa terjun ke air sumber untuk mengambil sampah dan daun-daun yang mengotori kolam dalam setahun terakhir. Setelah itu, ritual dilanjutkan dengan penyilepan kendi ke dalam pusat sumber. Setelah itu, penyiraman air legen ke dalam sumber Beji dan penyeberangan sesaji dari arah timur ke barat sumber. Selama penyeberangan sesaji, para pemuda yang berada di sekitar sumber Beji berjoged dan melakukan ritual saling gepuk (pukul) dengan diringi gending Jawa. Ritual tahunan ini diakhiri dengan makan bersama Gunungan Lanang dan Gunungan Wadon yang telah disediakan bagi warga untuk “ngalub” (meraih) berkah. Warga saling berebut makanan yang dipercaya bisa mendatangkan berkah dan keberuntungan bagi kehidupannya kelak

    Tari Bedoyo Srigati


Tari Bedoyo Srigati ini adalah tarian sakral yang biasanya menjadi tarian upacara adat pada waktu Ganti Langse di obyek wisata spiritual Pesanggrahan Srigati . Tarian Ini ditarikan oleh paling sedikit 10 penari yang semua harus masih gadis. Saat ini Tari Budoyo Srigati juga biasa ditampilkan pada saat ada jamuan tamu yang berkunjung di Ngawi. Ditarikan oleh para gadis cantik dengan pakaian tradisional yang indah dan gerak yang lembut, Budoyo Srigati sangat menarik untuk ditonton.

    Tari Pentul Melikan


Tarian ini ditarikan dengan memakai topeng kayu yang melambangkan watak manusia yang berbeda-beda namun tetap bersatu dalam kerja. Topeng ini dipengaruhi Jaman Kerajaan Kediri dan masa kini. Iringan gamelan sedikit mendapat pengaruh Reog Ponorogo.
Tari ini digarap atau diciptakan pada tahun 1952 oleh Bapak Munajah di Desa Melikan Kelurahan Tempuran, Kecamatan Paron, Kebudayaan Ngawi. Diciptakan untuk menghibur masyarakat setelah membangun sekolah desa itu. Perkembangan selanjutnya pementasan diadakan untuk  memperingati hari-hari besar nasional dan hari besar Islam oleh penduduk setempat.
Gerak-gerak tarian melambangkan menyembah pada Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan ini menumbuhkan ketentraman dan kedamaian. Digambarkan dalam bentuk berbaris seperti prajurit dan setengah lingkaran.

    Batik Ngawi


Batik adalah warisan dari budaya nasional dan merupakan ciri khas suatu daerah , seperti halnya dengan Ngawi. Ngawi memiliki batik khas , batik dengan corak manusia purba dan tanaman teh, bambu dan padi ini adalah asli Ngawi , mengapa demikian ? karena Ngawi memiliki museum manusia purba yaitu museum Trinil , kebun teh yag sudah terkenal yaitu kebun teh Jamus , bambu sebagai ciri khas kota Ngawi juga tak ingin ketinggalan menghiasi kain batik ini.. Akhir-akhir ini batik Ngawi sudah sering digunakan oleh para pegawai negeri di Ngawi , bahkan anak sekolah di Ngawi sekarang diwajibkan memakai batik khas Ngawi ini. Desa Munggut Padas dan desa Banyu Biru Ngrambe adalah penghasil batik terbaik Ngawi. Batik Ngawi dibuat dengan tangan atau batik tulis , oleh karena itu harga yang ditawarkan juga sebanding dengan proses pengerjaannya.

sumber: aktqu.com

Senin, 11 September 2017

BUDAYA PONOROGO



 Kabupaten Ponorogo adalah sebuah kabupaten di provinsi Jawa Timur, Indonesia. Kabupaten ini terletak di koordinat 111° 17’ - 111° 52’ BTdan 7° 49’ - 8° 20’ LS dengan ketinggian antara 92 sampai dengan 2.563 meter di atas permukaan laut dan memiliki luas wilayah 1.371,78 km² Kabupaten ini terletak di sebelah barat dari provinsi Jawa Timur dan berbatasan langsung dengan provinsi Jawa Tengah atau lebih tepatnya 200 km arah barat daya dari ibu kota provinsi Jawa Timur, Surabaya. Pada tahun 2010 berdasarkan hasil Sensus Penduduk, jumlah penduduk Kabupaten Ponorogo adalah 855.281 jiwa.

Hari jadi Kabupaten Ponorogo diperingati setiap tanggal 11 Agustus, karena pada tanggal 11 Agustus 1496, Bathara Katong diwisuda/dinobatkan sebagai adipati pertama Kadipaten Ponorogo. Pada tahun 1837, Kadipaten Ponorogo pindah dari Kota Lama ke Kota Tengah menjadi Kabupaten Ponorogo. Semenjak tahun 1944 hingga sekarang Kabupaten Ponorogo sudah berganti kepemimpinan sebanyak 16 kali.

Kabupaten Ponorogo dikenal dengan julukan Kota Reog atau Bumi Reog karena daerah ini merupakan daerah asal dari kesenian Reog. Ponorogo juga dikenal sebagai Kota Santri karena memiliki banyak pondok pesantren, salah satu yang terkenal adalah Pondok Modern Darussalam Gontor yang terletak di desa Gontor, kecamatan Mlarak.
Setiap tahun pada bulan Suro (Muharram), Kabupaten Ponorogo mengadakan suatu rangkaian acara berupa pesta rakyat yaitu Grebeg Suro. Pada pesta rakyat ini ditampilkan berbagai macam seni dan tradisi, di antaranya Festival Reog Nasional, Pawai Lintas Sejarah dan Kirab Pusaka, dan Larungan Risalah Doa di Telaga Ngebel.

Macam – macam kebudayaan Panoragan



Seni Tari Reog Ponorogo


Asal mula reog ponorogo:
Menurut cerita, kelahiran kesenian Reog dimulai pada tahun Saka 900, dilatarbelakangi kisah tentang perjalanan Prabu Kelana Sewandana, Raja Kerajaan Bantarangin yang sedang mencari calon permaisurinya. Bersama prajurit berkuda, dan patihnya yang setia, Bujangganong. Akhirnya gadis pujaan hatinya telah ditemukan, Dewi Sanggalangit, putri Kediri. Namun sang putri menetapkan syarat agar sang prabu menciptakan sebuah kesenian baru terlebih dahulu sebelum dia menerima cinta sang raja. Maka dari situlah terciptalah kesenian Reog. Bentuk Reog pun sebenarnya merupakan sebuah sindiran yang maknanya bahwa sang raja (kepala harimau) sudah disetir atau sangat dipengaruhi oleh permaisurinya (burung merak).

Reog modern biasanya dipentaskan dalam beberapa peristiwa seperti pernikahan, khitanan dan hari-hari besar Nasional. Seni Reog Ponorogo terdiri dari beberapa rangkaian 2 sampai 3 tarian pembukaan. Tarian pertama biasanya dibawakan oleh 6-8 pria gagah berani dengan pakaian serba hitam, dengan muka dipoles warna merah. Para penari ini menggambarkan sosok singa yang pemberani. Berikutnya adalah tarian yang dibawakan oleh 6-8 gadis yang menaiki kuda. Pada reog tradisionil, penari ini biasanya diperankan oleh penari laki-laki yang berpakaian wanita. Tarian ini dinamakan tarijaran kepang atau jathilan, yang harus dibedakan dengan seni tari lain yaitu tari kuda lumping.

Tarian pembukaan lainnya jika ada biasanya berupa tarian oleh anak kecil yang membawakan adegan lucu yang disebut Bujang Ganong atau Ganongan.

Setelah tarian pembukaan selesai, baru ditampilkan adegan inti yang isinya bergantung kondisi dimana seni reog ditampilkan. Jika berhubungan dengan pernikahan maka yang ditampilkan adalah adegan percintaan. Untuk hajatan khitanan atau sunatan, biasanya cerita pendekar,
Adegan dalam seni reog biasanya tidak mengikuti skenario yang tersusun rapi. Disini selalu ada interaksi antara pemain dan dalang (biasanya pemimpin rombongan) dan kadang-kadang dengan penonton. Terkadang seorang pemain yang sedang pentas dapat digantikan oleh pemain lain bila pemain tersebut kelelahan. Yang lebih dipentingkan dalam pementasan seni reog adalah memberikan kepuasan kepada penontonnya.

Adegan terakhir adalah singa barong, dimana pelaku memakai topeng berbentuk kepala singa dengan mahkota yang terbuat dari bulu burung merak. Berat topeng ini bisa mencapai 50-60 kg. Topeng yang berat ini dibawa oleh penarinya dengan gigi. Kemampuan untuk membawakan topeng ini selain diperoleh dengan latihan yang berat, juga dipercaya diproleh dengan latihan spiritual seperti puasa dan tapa.

Tokoh-tokoh dalam seni reog
Jathil
Jathil adalah prajurit berkuda dan merupakan salah satu tokoh dalam seni Reog. Jathilan merupakan tarian yang menggambarkan ketangkasan prajurit berkuda yang sedang berlatih di atas kuda. Tarian ini dibawakan oleh penari di mana antara penari yang satu dengan yang lainnya saling berpasangan. Ketangkasan dan kepiawaian dalam berperang di atas kuda ditunjukkan dengan ekspresi atau greget sang penari

Warok
"Warok" yang berasal dari kata wewarah adalah orang yang mempunyai tekad suci, memberikan tuntunan dan perlindungan tanpa pamrih. Warok adalah wong kang sugih wewarah (orang yang kaya akan wewarah). Artinya, seseorang menjadi warok karena mampu memberi petunjuk atau pengajaran kepada orang lain tentang hidup yang baik.Warok iku wong kang wus purna saka sakabehing laku, lan wus menep ing rasa (Warok adalah orang yang sudah sempurna dalam laku hidupnya, dan sampai pada pengendapan batin)

Barongan (Dadak merak)

Barongan (Dadak merak) merupakan peralatan tari yang paling dominan dalam kesenian Reog Ponorogo. Bagian-bagiannya antara lain; Kepala Harimau (caplokan), terbuat dari kerangka kayu, bambu, rotan ditutup dengan kulit Harimau Gembong. Dadak merak, kerangka terbuat dari bambu dan rotan sebagai tempat menata bulu merak untuk menggambarkan seekor merak sedang mengembangkan bulunya dan menggigit untaian manik - manik (tasbih). Krakap terbuat dari kain beludru warna hitam disulam dengan monte, merupakan aksesoris dan tempat menuliskan identitas group reog

Klono Sewandono

Klono Sewandono atau Raja Kelono adalah seorang raja sakti mandraguna yang memiliki pusaka andalan berupa Cemeti yang sangat ampuh dengan sebutan Kyai Pecut Samandiman kemana saja pergi sang Raja yang tampan dan masih muda ini selalu membawa pusaka tersebut. Pusaka tersebut digunakan untuk melindungi dirinya. Kegagahan sang Raja di gambarkan dalam gerak tari yang lincah serta berwibawa, dalam suatu kisah Prabu Klono Sewandono berhasil menciptakan kesenian indah hasil dari daya ciptanya untuk menuruti permintaan Putri (kekasihnya). Karena sang Raja dalam keadaan mabuk asmara maka gerakan tarinyapun kadang menggambarkan seorang yang sedang kasmaran.

Bujang Ganong (Ganongan)

Bujang Ganong (Ganongan) atau Patih Pujangga Anom adalah salah satu tokoh yang enerjik, kocak sekaligus mempunyai keahlian dalam seni bela diri sehingga disetiap penampilannya senantiasa di tunggu - tunggu oleh penonton khususnya anak - anak. Bujang Ganong menggambarkan sosok seorang Patih Muda yang cekatan, berkemauan keras, cerdik, jenaka dan sakti.

Grebek Suro

Grebeg Suro adalah acara tradisi kultural masyarakat Ponorogo dalam wujud pesta rakyat. Seni dan tradisi yang ditampilkan meliputi Festival Reog Nasional, Pawai Lintas Sejarah dan Kirab Pusaka, dan Larungan Risalah Doa di Telaga Ngebel. Grebeg suro merupakan acara tahunan yang dirayakan setiap tanggal 1 Muharram (1 Suro pada tahun Jawa). Acara ini merupakan kegiatan awal dalam menyongsong Tahun Kunjungan Wisata Jawa Timur setiap tahun.
Rangkaian Grebeg Suro di antaranya, prosesi penyerahan pusaka ke makam bupati pertama Ponorogo. Kemudian disusul pawai ratusan orang menuju pusat kota dengan menunggang bendi dan kuda yang dihiasi. Berikutnya akan ada Festival Reog Nasional di alun-alun kota. Saat itu puluhan grup reyog di Jawa Timur bahkan dari Kutai Kartanagara, Jawa Tengah, Balikpapan, dan Lampung akan turut tampil memeriahkan acara meriah ini
Pawai Lintas Sejarah
Pawai lintas sejarah merupakan pawai dari kota lama ke kota tengah untuk mengenang perpindahan pusat pemerintahan Kabupaten Ponorogo dari kota lama ke kota tengah.

Kirab Pusaka

. Acara Kirap Pusaka dimulai dengan start di Makam Bathoro Katong (Daerah Pasar Pon) dengan menggelar Risalah Do’a terlebih dahulu. Kirap Pusaka ini diarak dari Kota Lama (Pasar Pon) menuju Kota Baru (Paseban Aloon-Aloon Ponorogo). Acara ini bertujuan memindahkan benda-benda pusaka dari kota Lama ke kota Baru untuk dicuci.

Larungan Risalah Doa di Telaga Ngebel
Larungan Risalah Doa di Telaga Ngebel merupakan rasa syukur masyarakat kepada tuhan yang maha esa untuk itu mereka membuat sebuah gundukan sesajen yang akhirnya akan di bawah ke tengah telaga kemudian mereka berdoa bersama di di telaga tersebut.

Gajah-gajahan

Gajah-gajahan adalah salah satu bentuk pertunjukan rakyat Ponorogo selain Reyog. Jenis kesenian ini mirip dengan hadroh atau samproh klasik, terutama alat-alat musiknya. Perbedaannya adalah bahwa kesenian ini tidak memiliki pakem yang tetap mulai alat-alat musik, gerak tari, lagu, dan bentuk musiknya berubah seiring perkembangan zaman. Perbedaan paling utama adalah hadirnya patung gajah yang terbuat dari kertas karton yang dilekatkan pada kerangka bambu. Dari segi simbol binatang yaitu gajah yang dijadikan salah satu alatnya, menunjukkan bahwa gajah adalah binatang yang mudah ditundukkan, santun serta banyak membantu pekerjaan manusia.
 
Gajah-gajahan bukan sekedar kesenian panggung, tetapi juga sebagai sarana sosialisasi suatu kabar tertentu (misal; pengajian) dari si penghajat kepada masyarakat luas. Saat memerankan fungsi sosialisasi ini, gajah-gajahan diarak keliling desa atau beberapa desa di sekitarnya. Cara mengarak gajah gajahan dengan berkeliling desa itu, diharapkan akan mengundang perhatian warga untuk mendengarkan pesan pesan yang akan disampaikannya. Pada hajatan khitanan misalnya yang naik gajah-gajahan adalah anak kecil yang dikhitan. Kini seiring perkembangan zaman fungsi ini di geser seperti fungsi jathil pada kesenian Reyog (yang pada mulanya laki-laki berubah menjadi perempuan), yang mungkin agar memiliki unsur artistik.

Wayang kulit

Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Jawa. Wayang berasal dari kata 'Ma Hyang' yang artinya menuju kepada roh spiritual, dewa, atau Tuhan Yang Maha Esa. Ada juga yang mengartikan wayang adalah istilah bahasa Jawa yang bermakna 'bayangan', hal ini disebabkan karena penonton juga bisa menonton wayang dari belakang kelir atau hanya bayangannya saja.

Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden. Dalang memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak (blencong), sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat memahami cerita wayang (lakon), penonton harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang bayangannya tampil di layar.

Becekan

Masyarakat Ponorogo memiliki adat-istiadat yang sangat khas yaitu, becekan (suatu kegiatan dengan mendatangi dan memberikan bantuan berupa bahan makanan; beras, gula, dan sejenisnya kepada keluarga, tetangga atau kenalan yang memiliki hajat pernikahan atau khitanan) dan sejarah (silaturahim ke tetangga dan sanak saudara pada saat hari raya Idul Fitri yang biasanya dilakukan dengan mendatangi rumah orang yang berumur lebih tua).

Keling

Kesenian yang ada sejak tahun 1942 ini bermaksud mengingatkan saat masyarakat merasakan penderitaan ketika dijajah ceh Bangsa Jepang. Dalam sajian tari, kesenian mengisahkan tentang dua Putri dan Kerajaan Ngerum yang diculik oleh Bagaspati dan Kerajaan Tambak Kehing. Namun akhirnya dapat diselamatkan oeh Jok0 Tawang dan Padepokan Waringin Putih.

Jaran thik

Kesenian Jaranan thik menggambarkan tentang perjalanan hidup manusia yang diwarnai dengan cobaan, ataupun kemampuan dalam melawan hawa nafsu. Balk yang berasal dan luar maupun dalam din manusia itu sendiri.
 

Odrot

Seni musik yang dipengaruhi oleh seni pertunjukan Islam, biasanya dipentaskan pada acara resepsi pernikahan atau khitanan.
Merupakan kesenian peninggalan Jawa penjajahan Belanda yang hidup clan berkembang di Ponorogo. Kesenian ini merupakan seni pertunjukan musik yang menggunakan instrument pokok berupa terompet. Thekthur Kesenian yang penyajiannya dalan musikal bentuk ini terbuat dan bambu dan awalnya merupakan sarana penggalang masa bagi masyarakat dalam menjaga keamanan Iingkunganny'adanpada perkembangannya dijadikan sarana membangunkan orang untuk makan sahur bagi yang menjaankan ibadah puasa.
 

Terbangan

Kesenian ini hidup dan berkembang sebagai jenis yang Iebih banyak digunakan sebagal sarana kegiatan keagamaan an dengan nuansa Islami dalam bentuk lagu-lagu pujian ataupun sholawatan.

Gong gumbeng

Kesenian ini lahir saat transisi masuknya budaya keraton ke masyarakat pedesaan. Instrument terbuat dan bambu yang dibuat disesualkan dengan menyesuaikan nada gamelan. Kesenian ini juga digunakan pada upacara adat bersih desa maupun peringatan han-han besar dan dalam perkembangan juga untuk kebutuhan hiburan.
 

Kongkil

Seni Kongkil adalaha seni yang memadukan unsur tari dan musik tradisional. Kesenian ini biasanya dipentaskan kurang dari 10 orang, pemain gamelan dan penari. Kongkil adalah seni musik tradisional yang berasal dari Desa Padas Kecamatan Bungkal sekitar 20 km keselatan dari pusat kota.Diciptakanoleh seorang artis lokal bernama Toinangun pada tahun 1928. Kongkil menggunakan bambu sebagai alat musiknya. Bentuk alat musik ini seperti angklung. Kongkil biasanya dimainkan oleh 10 orang yang memakai pakaian tradisional serba hitam atau disebut juga “waktung” dan dipentaskan pada upacara bersih desa atau perayaan lainnya seperti dalam perayaan pernikahan. Dewasa ini untuk menjaga kelestariannya, perludiadakan penambahan alat musik tradisional lainnya seperti “kendang, kenong dan gong” serta ada seorang penyanyi wanita untuk lebih menyegarkan pertunjukkan seni ini.

sumber: aufatih.com

BUDAYA MADURA

 masyarakat Madura memiliki kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan masyarakat-masyarakat pada umumnya (masyarakat di luar Pulau Madura)...